Seorang anak marah besar ketika
diejek oleh temannya. Saya bertanya,
“mengapa kamu murka sampai memukul, meninju dan mengejek dia sepuasnya?”
“Dia yang duluan mi. Saya kan membalas ejekan dia”
“Kok balasnya sampai memukul dan
meninju? Kan dia hanya mengejek, gak pake pukul dan tinju”
“Saya sudah tidak bisa sabar
mi. sudah sering dia mengejek saya,”
jawabnya
“Iya, tapi kan dia hanya mengejek
saja. Kenapa kamu balasnya sambil
menendang, meninju, dan mencaci-makinya sepuas hati? Memangnya, kamu puas sekarang?
Hening.
“Kamu dendam?”
“Pastilah mi. Dari dulu dia suka mengejek saya. Diejek itu...seperti
dinding yang ditusuk paku lalu pakunya dicabut, pasti meninggalkan bekas kan
mi..gak akan bagus lagi kan mi..” begitu jawabnya sambil berlinang airmata.
Hm....jawaban yang masuk akal bagi
seorang anak.
Tetapi rupanya perilaku ini juga
banyak dilakukan oleh orang dewasa. Saling mengejek dan menghujat, bahkan di
media social yang dilihat orang banyakpun, mereka tak malu mengumbar kemarahan,
menunjukkan perilaku memalukan. Bahkan pertarungan politik beberapa waktu lalu
pun masih menunjukkan sisa-sisa ejekan dan hujatan di banyak beranda sosmed.
Dendam, menyisakan kebencian,
marah dan kecewa tak berkesudahan.
Saat dizalimi, seringkali kita
otomatis berusaha membalas dengan juga menzalimi. Orang memukul sekali, kita balas memukul
berkali-kali.
Orang mengejek, kita balas dengan
berteriak, mencaci-maki, bahkan memukul dan menyerang. Bahkan menyebarluaskan
kejahatannya.
Balasan yang kita berikan bukan
untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk mengeluarkan dendam yang lama
bersarang.
Orang berlaku buruk pada
kita. Sayangnya perlakuan kita jauh
lebih buruk daripada dia.
Dendam, memang kerap jadi biang
kerok perseteruan. Dendam mudah sekali
membara. Masalah lama yang sudah reda, seringkali muncul kembali terpantik api
sedikit saja, karena masih berselimut dendam. Orang bilang sakit hati, terluka,
itu tidak bisa hilang. Orang juga bilang, waktu nanti yang akan
menyembuhkan. Kenyataannya, berlalunya
waktu tidak menjamin hilangnya luka dan sakit hati. Karena kita hanya membiarkan, berharap luka
itu hilang dangan sendirinya seiring berlalunya waktu. Padahal sejatinya, luka apakah yang bisa sembuh
oleh waktu? Tidakkah luka yang dibiarkan itu justru akan memperburuk keadaan?
Ibarat dinding yang luka bekas tertusuk
paku, bukankah dapat kita perbaiki dengan menambal adukan semen lagi, kita cat
lagi sehingga dinding kita kembali bagus dan enak dipandang.
Adapun hati kita, jauh lebih
bagus daripada dinding buatan manusia.
Hati kita yang lembut tentu akan lebih mudah kita perbaiki karena ia
buatan Allah Yang Maha Hebat. Kuncinya
hanya satu. Maukah kita melakukannya?
Maukah kita membersihkan dendam di
dinding hati kita dari bekas-bekas perseteruan itu? Maukah kita menampal
hati kita dengan banyak perilaku baik hingga hati kita terbiasa mengeluarkan
kebaikan-kebaikan saja.
Mari kita simak kisah berikut
ini.
Perang Badar menyisakan beberapa
tawanan dari kaum Quraish, diantaranya Abul Ash ArRabi, suami dari Zainab binti
Rasulallah. Zainab lalu mengirimkan
kalung pemberian ibundanya Khadijah ra sebagai tebusan membebaskan suaminya. Manakala melihat tebusan itu Rasulallah
meminta kesediaan sahabat untuk membebaskan tawanan dan mengembalikan kalung
tebusan tersebut, dengan syarat, Abul ash arrabi harus mengembalikan Zainab
kepada ayahnya, Muhammad SAW.
Begitu Abul Ash sampai di Mekkah
ia langsung memerintahkan saudaranya Kinanah bin Ar Rabi untuk mengantarkan
Zainab istrinya ke perbatasan dimana Zaid bin Haritsah dan seorang temannya
telah menunggu Zainab untuk diantar kepada Rasulallah.
Namun demikian, kaum Quraish
tidak membiarkan Kinanah. Mereka
mengejar dan menghalangi Kinanah, karena mereka tidak ingin kaum Quraish
dihinakan setelah kekalahan di Badar, dengan mengembalikan Zainab. Di tengah
perseteruan kedua belah` pihak, datanglah Abu Sufyan.
Ia berkata kepada Kinanah,
“Masukkanlah anak panahmu Kinanah. Kamu tidak tepat membawa wanita ini di siang
hari, pada saat baru saja kita mengalami kekalahan di Badar. Karena dengan mengeluarkan putri Muhammad di
siang hari akan menimbulkan anggapan dari masyarakat bahwa kita ini hina dan
lemah. Aku tidak ingin memisahkan ia dari ayahnya. Hanya saja tunggulah sampai kesedihan tentang
kekalahan ini mereda, barulah kau bawa ia”
Kinanah menyetujui ucapan bijaksana
Abu Sufyan ini. Lalu Zainab pun dibawa
kembali ke Mekkah, dan diantarkan ke perbatasan beberapa hari kemudian.
Apakah hubungan Abu Sufyan dengan
sang anak yang mendendam?
Siapakah yang tak mengenal Abu
Sufyan pada masanya. Seorang tokoh,
pembesar Quraish yang disegani, kaya raya, piawai dalam berdagang, disanjung
dan dibanggakan banyak orang. Begitu besar kemarahannya saat mendengar putranya
Muawiyah menjadi pembela rasul, bahkan putrinya Ramlah (Ummu Habibah) menjadi
istri Rasulallah. Sementara ia yang gagah perkasa adalah yang paling gigih
memerangi Muhammad SAW.
Namun kekalahan kaumnya di Badar
tidak membuatnya kehilangan akal sehat.
Tidak pula ia membiarkan hatinya dipenuhi dendam kesumat.
Ia tetap berlaku bijak. Hatinya terpelihara.
Dan benarlah. Pada saatnya kemudian, pada hari futuh
Mekkah, hatinya yang terpelihara itu menerima kebenaran.
Demikianlah. Hati yang terluka dapat kita perbaiki jika
kita mau melakukannya.
Jika kita memang berniat
menegakkan keadilan.
Jika kita memang berniat
memperbaiki keadaan.
“Dan
jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”(QS An Nahl 126)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar