Kamis, 18 September 2014

Dendam




Seorang anak marah besar ketika diejek oleh temannya.  Saya bertanya, “mengapa kamu murka sampai memukul, meninju dan mengejek dia sepuasnya?”

“Dia yang duluan mi.  Saya kan membalas ejekan dia”

“Kok balasnya sampai memukul dan meninju? Kan dia hanya mengejek, gak pake pukul dan tinju”

“Saya sudah tidak bisa sabar mi.  sudah sering dia mengejek saya,” jawabnya

“Iya, tapi kan dia hanya mengejek saja.  Kenapa kamu balasnya sambil menendang, meninju, dan mencaci-makinya sepuas hati? Memangnya, kamu  puas sekarang?

Hening.

“Kamu dendam?”

“Pastilah mi.  Dari dulu dia suka mengejek saya. Diejek itu...seperti dinding yang ditusuk paku lalu pakunya dicabut, pasti meninggalkan bekas kan mi..gak akan bagus lagi kan mi..” begitu jawabnya sambil berlinang airmata.

Hm....jawaban yang masuk akal bagi seorang anak.

Tetapi rupanya perilaku ini juga banyak dilakukan oleh orang dewasa. Saling mengejek dan menghujat, bahkan di media social yang dilihat orang banyakpun, mereka tak malu mengumbar kemarahan, menunjukkan perilaku memalukan. Bahkan pertarungan politik beberapa waktu lalu pun masih menunjukkan sisa-sisa ejekan dan hujatan di banyak beranda sosmed.

Dendam, menyisakan kebencian, marah dan kecewa tak berkesudahan.

Saat dizalimi, seringkali kita otomatis berusaha membalas dengan juga menzalimi.  Orang memukul sekali, kita balas memukul berkali-kali.

Orang mengejek, kita balas dengan berteriak, mencaci-maki, bahkan memukul dan menyerang. Bahkan menyebarluaskan kejahatannya.

Balasan yang kita berikan bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk mengeluarkan dendam yang lama bersarang.

Orang berlaku buruk pada kita.  Sayangnya perlakuan kita jauh lebih buruk daripada dia.

Dendam, memang kerap jadi biang kerok perseteruan.  Dendam mudah sekali membara. Masalah lama yang sudah reda, seringkali muncul kembali terpantik api sedikit saja, karena masih berselimut dendam. Orang bilang sakit hati, terluka, itu tidak bisa hilang. Orang juga bilang, waktu nanti yang akan menyembuhkan.  Kenyataannya, berlalunya waktu tidak menjamin hilangnya luka dan sakit hati.  Karena kita hanya membiarkan, berharap luka itu hilang dangan sendirinya seiring berlalunya waktu.  Padahal sejatinya, luka apakah yang bisa sembuh oleh waktu? Tidakkah luka yang dibiarkan itu justru akan memperburuk keadaan?

Ibarat dinding yang luka bekas tertusuk paku, bukankah dapat kita perbaiki dengan menambal adukan semen lagi, kita cat lagi sehingga dinding kita kembali bagus dan enak dipandang.

Adapun hati kita, jauh lebih bagus daripada dinding buatan manusia.  Hati kita yang lembut tentu akan lebih mudah kita perbaiki karena ia buatan Allah Yang Maha Hebat.  Kuncinya hanya satu.  Maukah kita melakukannya? Maukah kita membersihkan dendam di  dinding hati kita dari bekas-bekas perseteruan itu? Maukah kita menampal hati kita dengan banyak perilaku baik hingga hati kita terbiasa mengeluarkan kebaikan-kebaikan saja.

Mari kita simak kisah berikut ini.

Perang Badar menyisakan beberapa tawanan dari kaum Quraish, diantaranya Abul Ash ArRabi, suami dari Zainab binti Rasulallah.  Zainab lalu mengirimkan kalung pemberian ibundanya Khadijah ra sebagai tebusan membebaskan suaminya.  Manakala melihat tebusan itu Rasulallah meminta kesediaan sahabat untuk membebaskan tawanan dan mengembalikan kalung tebusan tersebut, dengan syarat, Abul ash arrabi harus mengembalikan Zainab kepada ayahnya, Muhammad SAW.

Begitu Abul Ash sampai di Mekkah ia langsung memerintahkan saudaranya Kinanah bin Ar Rabi untuk mengantarkan Zainab istrinya ke perbatasan dimana Zaid bin Haritsah dan seorang temannya telah menunggu Zainab untuk diantar kepada Rasulallah. 

Namun demikian, kaum Quraish tidak membiarkan Kinanah.  Mereka mengejar dan menghalangi Kinanah, karena mereka tidak ingin kaum Quraish dihinakan setelah kekalahan di Badar, dengan mengembalikan Zainab. Di tengah perseteruan kedua belah` pihak, datanglah Abu Sufyan.

Ia berkata kepada Kinanah, “Masukkanlah anak panahmu Kinanah. Kamu tidak tepat membawa wanita ini di siang hari, pada saat baru saja kita mengalami kekalahan di Badar.  Karena dengan mengeluarkan putri Muhammad di siang hari akan menimbulkan anggapan dari masyarakat bahwa kita ini hina dan lemah. Aku tidak ingin memisahkan ia dari ayahnya.  Hanya saja tunggulah sampai kesedihan tentang kekalahan ini mereda, barulah kau bawa ia”

Kinanah menyetujui ucapan bijaksana Abu Sufyan ini.  Lalu Zainab pun dibawa kembali ke Mekkah, dan diantarkan ke perbatasan beberapa hari kemudian.

Apakah hubungan Abu Sufyan dengan sang anak yang mendendam?

Siapakah yang tak mengenal Abu Sufyan pada masanya.  Seorang tokoh, pembesar Quraish yang disegani, kaya raya, piawai dalam berdagang, disanjung dan dibanggakan banyak orang. Begitu besar kemarahannya saat mendengar putranya Muawiyah menjadi pembela rasul, bahkan putrinya Ramlah (Ummu Habibah) menjadi istri Rasulallah. Sementara ia yang gagah perkasa adalah yang paling gigih memerangi Muhammad SAW.

Namun kekalahan kaumnya di Badar tidak membuatnya kehilangan akal sehat.  Tidak pula ia membiarkan hatinya dipenuhi dendam kesumat.

Ia tetap berlaku bijak.  Hatinya terpelihara.

Dan benarlah.  Pada saatnya kemudian, pada hari futuh Mekkah, hatinya yang terpelihara itu menerima kebenaran.

Demikianlah.  Hati yang terluka dapat kita perbaiki jika kita mau melakukannya.
Jika kita memang berniat menegakkan keadilan.
 Jika kita memang berniat memperbaiki keadaan.

 Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”(QS An Nahl 126)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar