Senin, 04 November 2013

Taare Zameen Par


                                                    gambar dari google
Pertamakali nonton film ini mungkin sekitar 3 tahun lalu, dibawa sulungku saat pulang liburan dari pondoknya.  Seminggu lalu seorang teman guru membawanya ke kantor. Sebenarnya aku hampir-hampir tak pernah nonton film India. Paling-paling dulu lihat iklan di tv film kuch kuch hota hai yang konon katanya sangat fenomenal. Kupikir seperti itu sajalah film India, identik dengan tarian, nyanyi-nyanyi, drama berbumbu cinta, yah begitulah. Tapi tidak seperti yang kukira, ternyata India punya juga film pendidikan yang oke banget. Bahkan menurutku malah lebih bagus dari film Indonesia (hahhah ada yang marah ga ya). Padahal jujur aja aku bukan yang suka-suka amat sama film, karena menurutku ‘wasting time’ bener deh. Aku hanya menonton film yang sudah direkomendasikan orang saja, itu pun kalo ada waktu luang.

Beberapa yang sudah kutonton selain Taare Zamee Par adalah I’m Not Stupid, Willy wonka & the Chocolate Factory, Sang Pemimpi, Hafalan Delisa, Heart Is, Race to  Witch Mountain dan beberapa lagi yang aku lupa judulnya. Semuanya bertema seputar anak dan pendidikan. Selebihnya kalau nemenin si bungsu nonton: Petualangan Tin-tin, Tumbelina, Fairy Thinker Bell, Alice in Wonderland, Jurassic Park. Kalau dulu sih Petualangan Sherina. Dulunya lagi waktu aku masih kecil, nonton Little House on the Praire di televisi.

Nah kembali ke film ini yang versi Inggrisnya berjudul “Like Star on Earth”, film ini bercerita tentang Ishaan Awasthi (mungkin maksudnya Ihsan ya) yang mengulang di kelas 3 SD, tapi masih belum bisa membaca dan menulis, namun sangat ahli menggambar. Sayangnya semua guru bahkan kedua orangtuanya tidak mengapresiasi kelebihannya, tapi hanya menonjolkan kekurangannya. Bagi ayahnya pintar menggambar bukanlah sebuah prestasi. Prestasi adalah seperti apa yang telah dicapai kakak Isaan. Rangking di kelas, bintang di Lapangan.

Ayahnya yang sibuk bekerja tak punya cukup waktu untuk mendengarkan keluhannya. Ibunya yang sibuk di rumah tak pula mencari tahu apa masalahnya. Mereka hanya menganggap Isaan malas, tak mau belajar dan tak mau diatur. Begitupun gurunya. Mengajar 40 siswa dalam satu kelas. Bagaimana ia dapat mengetahui masalah siswanya? Bagaimana ia dapat mengendalikan kelasnya? Perlu kerja keras. Yang paling mudah adalah guru bicara, siswa diam. Guru menyuruh, siswa kerjakan. Semua siswa harus sama hebat, sama mampu, sama berprestasi.  Tak ada toleransi, tak ada pemahaman bahwa setiap anak itu unik, spesial, punya kelebihan masing-masing.

Ini mungkin mirip dengan model pendidikan di Indonesia. Sebagian (sangat) besar guru yang mengajar menggunakan metode Teacher Center. Satu arah. Siswa hanya mengikuti apa kata guru. Guru yang otoriter, lebih banyak menghukum dan tidak mau mendengarkan anak. Contohnya saat Ihsan mengatakan ia tak bisa membaca tulisan itu karena hurufnya menari-nari, sang guru justru marah dan akhirnya menyuruh Isaan keluar kelas.

Isaan memang beda. Tak seperti kebanyakan anak lainnya, ia mengidap kelainan dalam mengenali huruf dan angka. Kemampuan motoriknya terganggu. Juga tak dapat mengira dimensi jarak dan ruang. Para ahli menyebutnya Disleksia. Inilah yang tak disadari oleh orangtuanya yang mementingkan prestasi, prestise, dan keuntungan semata.

Ketika kepala sekolah memanggil orangtua Ishaan dan mengatakan bahwa mereka angkat tangan dengan Ishaan, ayahnya segera bertindak, memindahkan Ishaan ke sekolah asrama yang bonafid namun jauh. Ternyata sekolah yang bergengsi ini pun menerapkan pola pendidikan yang tidak jauh berbeda, atas nama disiplin dan prestasi. Hukuman fisik, hukuman psikis dengan ocehan dan caci maki, mewarnai masa awal Ishaan di asrama. Bayangkan, Ishaan yang sangat ahli menggambar, bahkan membuat buku flip yang begitu menyentuh dan mebuat ibunya menangis untuk menggambarkan perpisahan dengan keluarganya sampai di sekolah yang baru justru kehilangan kemampuan imajinatifnya, dan memutuskan berhenti melukis.

Ia yang sedang stress karena merasa dibuang oleh ayahnya ke asrama menjadi semakin depresi. Ia bengong dan apatis. Tak berbicara sepatah kata pun...sampai datanglah sang guru seni yang baru, pak Nikumbh.

Guru seni ini awalnya hanya sementara, menggantikan guru sebelumnya yang keras dan konvensional. Aamir Khan sang sutradara sekaligus pemerannya menggambarkan alternatif yang lebih baik dalam belajar. Dengan bercerita, menggunakan alat peraga, komunikatif, aplikatif, dan yang terpenting menumbuhkan hasrat ingin tahu dan minat anak. Ketika ia meminta anak-anak menggambar, ada yang bertanya apa yang harus digambar karena tak ada contohnya. Ia mengatakan, “Meja ini terlalu kecil untuk imajinasi indah kalian. Masuki pikiranmu...dan keluarkan imajinasimu, lalu tuangkan dalam kertas gambar itu! Bersenang-senanglah!”

Buatku film ini benar-benar mencerahkan. Tidak saja memberikan alternatif pengajaran di sekolah, tetapi juga memahami lebih dalam tentang disleksia dan efeknya. Nah di film ini Aamir Khan juga mempraktekkan bagaimana penanganan anak dengan disleksia.

Satu hal lagi yang bisa diambil dari film yang motifativ ini adalah bahwa menjadi guru dan orangtua harus diniatkan dari hati. Maka akan ada totalitas. Mau mendengarkan. Memberikan waktu saat mereka membutuhkan. Mencari cara terbaik yang dapat dilakukan. Jangan hanya menjadikan guru sebagai profesi untuk mencari sesuap nasi atau sertifikasi. Tapi mendidiklah dengan hati.

“Manusia itu,”kata Abbas asSisi, “akan berubah jika kita menyentuh hatinya. Dan hati itu akan tersentuh hanya oleh hati juga”

Karena itu siapapun kita, orangtua ataupun guru, mari,didiklah anak (didik) kita dengan hati.

Happy Monday

Tidak ada komentar:

Posting Komentar