Sedih
dan miris. Media akhir-akhir ini
dipenuhi berita kekerasan terhadap anak.
Kasus terdekat di daerah ini adalah di sebuah SD Negeri di Kelurahan
Muara Enim. Pengeroyokan oleh siswa dari kelas yang lebih tinggi pada jam
sekolah dituding menjadi penyebab meninggalnya siswi kelas 3 di sekolah
tersebut. Banyak orang bertanya, dimana guru dan kepala sekolah pada saat itu?
Dimana siswa lainnya? Mengapa tak ada yang memberitahukan kepada para guru?
Bukan
saja karena saya guru jika saya menganggap ini adalah musibah besar bagi
sekolah tersebut dan dunia pendidikan pada umumnya. Dimanakah Guru? Guru
dituntut bekerja profesional, 24 jam tatap muka per minggu. Ditambah lagi
penyiapan administrasi guru, penilaian, dan tugas-tugas tambahan lainnya
seperti wali kelas, guru piket, bendahara, bahkan TU.
Tidak
banyak jumlah guru di sebuah sekolah dasar. Coba kita lihat. Jika setiap
tingkat hanya memiliki 1 rombel, berarti ada 6 guru kelas, ditambah 1 guru
penjas, 1 guru agama, dan 1 kepala sekolah. Mohon koreksi jika saya salah. Kepala Sekolah memiliki tugas dan
tanggungjawab yang menyebabkan terkadang beliau tidak berada di sekolah. Guru agama dan penjas, tidak mengajar setiap
hari, bahkan mungkin harus menambah jam mengajar ke sekolah lain akibat
sertifikasi. Hanya tersisa guru kelas.
Jeda istirahat mereka gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas tambahan, melakukan
penilaian atau mungkin sekedar melepas penat di kantor. Mungkin seharusnya
aktifitas tambahan ini bisa dilakukan sambil mengawasi siswa bermain.
Saya
tidak menafikan, masih banyak guru yang belum punya dedikasi dalam mengajar dan
mendidik. Datang ke sekolah sekadar
menggugurkan kewajiban. Tatap muka
dilakukan hanya dengan menatap satu persatu wajah siswa saat mengabsen, lalu
memberikan tugas. Kemudian dirinya sibuk dengan kegiatan pribadi. Tak ada interaksi, tak ada pengajaran dan
pendidikan, apalagi pengawasan. Situasi ini jelas tidak akan membawa kebaikan
dan peningkatan mutu dan akhlak siswa.
Tetapi,
sebagai guru saya merasakan. Betapa
sulitnya membentuk perilaku siswa, karakter siswa, terlebih jika mereka sudah
punya “bawaan” masing-masing yang mengakar dengan kuat. Yang saya maksud dengan bawaan adalah
perilaku mereka sehari-hari di rumah dan di lingkungan sekitar tempat
tinggalnya. Bukankah siswa masuk ke SD pada usia 6-7 tahun. Itu berarti ada sekitar 6 tahun sebelumnya
karakter anak dibentuk oleh keluarga dan lingkungan di rumahnya. Jika kemudian
anak tumbuh menjadi penakut, tak dapat membela diri, atau pemarah, emosi tak
terkendali, ringan tangan dan kaki, kita juga bisa bertanya, Dimanakah
Orangtua?
Kami
punya beberapa pengalaman tentang hal ini. Kami di sekolah mengajarkan
kelemahlembutan, tapi di rumah dia mendapatkan kekerasan fisik dari
keluarganya. Guru membiasakan kata-kata
santun di sekolah, tapi dia sering mendengar dan berinteraksi dengan kata-kata
kotor di lingkungan tempat tinggalnya, dengan teman sepermainannya. Belum lagi
aneka bentakan dan ancaman dari orang-orang terdekatnya, yang sedikit demi
sedikit akan membentuk karakter yang akhirnya melekat menjadi ‘bawaan” seorang
anak. Perilaku ini kemudian yang dibawa anak ke sekolah.
Kami
pernah mempunyai seorang siswa yang saat masuk pertamakali emosinya seringkali
tak terkendali. Kekerasan fisik seperti
memukul dan menendang adalah kelakuannya sehari-hari. Sehingga kami
banyak mendapat komplain dari orangtua siswa lainnya. Kami bicarakan hal
ini dengan orangtua siswa tersebut untuk mencari solusinya. Alhamdulillah respon orangtuanya begitu
baik. Mereka menahan diri untuk tidak
melakukan kekerasan fisik maupun psikis pada putranya. Mereka kembangkan minat dan bakat
putranya. Mereka pilihkan lingkungan
yang baik bagi putranya. Kami disekolah
men-support dengan menerapkan akhlak Islami.
Sistem semi fullday school sedikit banyak juga membantu mengurangi
interaksi siswa dengan lingkungan di sekitarnya, meskipun tidak semua orangtua
setuju dengan sistem sekolah seperti ini. Alhamdulillah, di tahun ketiga,
perilakunya jauh lebih santun, dan yang menggembirakan, dia bahkan berprestasi
di banyak bidang seni.
Pengalaman
sebaliknya pun pernah kami rasakan.
Bahkan seorang ayah pernah membabi buta memukuli anaknya di depan kami
para guru, saat beliau menjemput sepulang sekolah, disebabkan ia mendengar
informasi yang tidak lagi beliau cek
kebenarannya.
Sungguh,
saya tidak bermaksud membela para guru yang melakukan kelalaian. Sungguh kita berlindung kepada Allah dari
musibah yang disebabkan kelalaian. Sebagai orangtua, saya ingin menggaribawahi
bahwa sesungguhnya yang memiliki peran signifikan dalam membentuk karakter anak
adalah kita, para orangtua. Karakter baik anak perlu ditanamkan sejak dini,
hingga terinternalisasi dalam dirinya, dan muncul ke permukaan penampilan
sebagai akhlak mulia. Peran guru di sekolah tentu sangat besar untuk membantu
orangtua membentuk karakternya dan menciptakan lingkungan yang ramah anak. Sehingga
baik di sekolah maupun di rumah anak mendapatkan lingkungan yang akan
menumbuhkan karakter kebaikan dan meminimalisir sifat negatif dalam dirinya.
Oleh karena itu, Orangtua
dan Guru, mari menghadirkan diri kita.
Di rumah untuk membentuk dan menumbuhkembangkan karakter kebaikan
anak-anak kita. Di sekolah untuk
membentuk dan menumbuhkembangkan karakter kebaikan anak-anak didik kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar