Sabtu, 10 Mei 2014

Dimanakah Kita?



Sedih dan miris.  Media akhir-akhir ini dipenuhi berita kekerasan terhadap anak.  Kasus terdekat di daerah ini adalah di sebuah SD Negeri di Kelurahan Muara Enim. Pengeroyokan oleh siswa dari kelas yang lebih tinggi pada jam sekolah dituding menjadi penyebab meninggalnya siswi kelas 3 di sekolah tersebut. Banyak orang bertanya, dimana guru dan kepala sekolah pada saat itu? Dimana siswa lainnya? Mengapa tak ada yang memberitahukan kepada para guru?

Bukan saja karena saya guru jika saya menganggap ini adalah musibah besar bagi sekolah tersebut dan dunia pendidikan pada umumnya. Dimanakah Guru? Guru dituntut bekerja profesional, 24 jam tatap muka per minggu. Ditambah lagi penyiapan administrasi guru, penilaian, dan tugas-tugas tambahan lainnya seperti wali kelas, guru piket, bendahara, bahkan TU.

Tidak banyak jumlah guru di sebuah sekolah dasar. Coba kita lihat. Jika setiap tingkat hanya memiliki 1 rombel, berarti ada 6 guru kelas, ditambah 1 guru penjas, 1 guru agama, dan 1 kepala sekolah. Mohon koreksi jika saya salah. Kepala Sekolah memiliki tugas dan tanggungjawab yang menyebabkan terkadang beliau tidak berada di sekolah.  Guru agama dan penjas, tidak mengajar setiap hari, bahkan mungkin harus menambah jam mengajar ke sekolah lain akibat sertifikasi.  Hanya tersisa guru kelas. Jeda istirahat mereka gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas tambahan, melakukan penilaian atau mungkin sekedar melepas penat di kantor. Mungkin seharusnya aktifitas tambahan ini bisa dilakukan sambil mengawasi siswa bermain.

Saya tidak menafikan, masih banyak guru yang belum punya dedikasi dalam mengajar dan mendidik.  Datang ke sekolah sekadar menggugurkan kewajiban.  Tatap muka dilakukan hanya dengan menatap satu persatu wajah siswa saat mengabsen, lalu memberikan tugas. Kemudian dirinya sibuk dengan kegiatan pribadi.  Tak ada interaksi, tak ada pengajaran dan pendidikan, apalagi pengawasan. Situasi ini jelas tidak akan membawa kebaikan dan peningkatan mutu dan akhlak siswa.

Tetapi, sebagai guru saya merasakan.  Betapa sulitnya membentuk perilaku siswa, karakter siswa, terlebih jika mereka sudah punya “bawaan” masing-masing yang mengakar dengan kuat.  Yang saya maksud dengan bawaan adalah perilaku mereka sehari-hari di rumah dan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Bukankah siswa masuk ke SD pada usia 6-7 tahun.  Itu berarti ada sekitar 6 tahun sebelumnya karakter anak dibentuk oleh keluarga dan lingkungan di rumahnya. Jika kemudian anak tumbuh menjadi penakut, tak dapat membela diri, atau pemarah, emosi tak terkendali, ringan tangan dan kaki, kita juga bisa bertanya, Dimanakah Orangtua?

Kami punya beberapa pengalaman tentang hal ini. Kami di sekolah mengajarkan kelemahlembutan, tapi di rumah dia mendapatkan kekerasan fisik dari keluarganya.  Guru membiasakan kata-kata santun di sekolah, tapi dia sering mendengar dan berinteraksi dengan kata-kata kotor di lingkungan tempat tinggalnya, dengan teman sepermainannya. Belum lagi aneka bentakan dan ancaman dari orang-orang terdekatnya, yang sedikit demi sedikit akan membentuk karakter yang akhirnya melekat menjadi ‘bawaan” seorang anak. Perilaku ini kemudian yang dibawa anak ke sekolah.

Kami pernah mempunyai seorang siswa yang saat masuk pertamakali emosinya seringkali tak terkendali.  Kekerasan fisik seperti memukul dan menendang adalah kelakuannya sehari-hari.  Sehingga kami  banyak mendapat komplain dari orangtua siswa lainnya. Kami bicarakan hal ini dengan orangtua siswa tersebut untuk mencari solusinya.  Alhamdulillah respon orangtuanya begitu baik.  Mereka menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan fisik maupun psikis pada putranya.  Mereka kembangkan minat dan bakat putranya.  Mereka pilihkan lingkungan yang baik bagi putranya.  Kami disekolah men-support dengan menerapkan akhlak Islami.  Sistem semi fullday school sedikit banyak juga membantu mengurangi interaksi siswa dengan lingkungan di sekitarnya, meskipun tidak semua orangtua setuju dengan sistem sekolah seperti ini. Alhamdulillah, di tahun ketiga, perilakunya jauh lebih santun, dan yang menggembirakan, dia bahkan berprestasi di banyak bidang seni.

Pengalaman sebaliknya pun pernah kami rasakan.  Bahkan seorang ayah pernah membabi buta memukuli anaknya di depan kami para guru, saat beliau menjemput sepulang sekolah, disebabkan ia mendengar informasi  yang tidak lagi beliau cek kebenarannya.

Sungguh, saya tidak bermaksud membela para guru yang melakukan kelalaian.  Sungguh kita berlindung kepada Allah dari musibah yang disebabkan kelalaian. Sebagai orangtua, saya ingin menggaribawahi bahwa sesungguhnya yang memiliki peran signifikan dalam membentuk karakter anak adalah kita, para orangtua. Karakter baik anak perlu ditanamkan sejak dini, hingga terinternalisasi dalam dirinya, dan muncul ke permukaan penampilan sebagai akhlak mulia. Peran guru di sekolah tentu sangat besar untuk membantu orangtua membentuk karakternya dan menciptakan lingkungan yang ramah anak. Sehingga baik di sekolah maupun di rumah anak mendapatkan lingkungan yang akan menumbuhkan karakter kebaikan dan meminimalisir sifat negatif dalam dirinya.

Oleh karena itu, Orangtua dan Guru, mari menghadirkan diri kita.  Di rumah untuk membentuk dan menumbuhkembangkan karakter kebaikan anak-anak kita.  Di sekolah untuk membentuk dan menumbuhkembangkan karakter kebaikan anak-anak didik kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar