A'uuzubillaahi minasy syaithoonirroojiim
Bismilaahirrohmaanirrohiim
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (Al Baqoroh : 44)
Beberapa waktu lalu sekolah kami,
sekolah dasar swasta yang saat ini
memasuki tahun keempat, kedatangan beberapa guru PNS bersertifikat. Kedatangan mereka
adalah untuk meminta izin diperbolehkan mengajar sebagai guru PNS yang
diperbantukan, karena di sekolah asal mereka tidak mendapatkan jam mengajar. Peraturan
bahwa guru bersertifikat harus mengajar 24 jam tatap muka dalam seminggu, yang
kalau di SD adalah sebagai guru kelas, membuat banyak guru tidak mendapatkan kelas, atau tidak mendapat
jumlah jam mengajar yang cukup sebagai syarat mereka mendapatkan Tunjangan Profesi
Pendidik (TPP). Boleh jadi hal ini disebabkan menumpuknya guru hanya di
sekolah-sekolah yang terdapat di kota saja.
Terlepas dari banyaknya guru
bersertifikat yang tidak mendapat kelas/jam akibat persebaran guru yang tidak
merata, program sertifikasi guru ini sebenarnya adalah niat baik pemerintah untuk meningkatkan
kualitas guru dan mutu pendidikan di Indonesia, sekaligus memberikan
penghargaan atas baiknya kinerja para guru. Atau juga sebaliknya, dengan adanya
penghargaan berupa tunjangan tersebut, maka guru tidak perlu memikirkan
pekerjaan sampingan sehingga dapat bekerja secara profesional. Tetapi dalam
beberapa kasus, niat baik ini belum bersambut sesuai harapan. Karena pada
kenyataannya, masih sangat banyak guru, baik bersertifikat ataupun tidak yang
belum profesional.
Profesional menurut Permen Diknas
mengenai standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru adalah menguasai
materi pembelajaran secara luas dan mendalam.
Untuk itu seorang guru dituntut proaktif, kreatif, dan inovatif, serta
dapat menyampaikan pembelajaran dengan
baik untuk memahamkan siswa. Dengan demikian dibutuhkan totalitas dan
profesionalitas kerja guru, yang imbalannya adalah diberikannya tunjangan
profesi pendidik, meskipun dalam beberapa kasus proses pencairannya pun
berkendala.
Terlepas dari rumitnya urusan
sertifikasi, sesungguhnya sebaik apapun program dirancang, secanggih apapun kebijakan
dibuat, mutu dan layanan pendidikan kita tidak akan meningkat jika guru tidak
memperbaiki kualitas dirinya. Betapa banyak kita menemukan guru yang mengajar
hanya menuntaskan kewajiban, guru yang bersikap kasar dan menyakiti fisik
siswa, guru yang melecehkan siswa. Terkadang hal tersebut dilakukan tanpa
sadar, secara spontan, karena sikap tersebut sudah mendarah daging dalam
dirinya. Betapa banyak kita menemukan guru yang sudah berpengalaman puluhan
tahun mengajar, tetapi cara dan sikapnya justru mengalami kemunduran.
Maka
tidaklah berlebihan kalau pemerintah melalui penerapan kurikulum 2013 melakukan
perubahan mindset guru. Secara harfiah,
mindset adalah sebuah sikap individu berupa kesesuaian antara pola pikir/pengetahuan,
keterampilan dan sikap prilaku. Orang yang memiliki hal tersebut, maka ia akan
memiliki kesadaran/keikhlasan untuk menerima serta berkemauan untuk
memperjuangkannya, yang dalam organisasi disebut dengan istilah budaya
kerja (Fahrul
Usmi, MAg)
Saya menyimpulkan maknanya adalah selaras dengan ayat
tersebut diatas, bahwa, seorang guru profesional itu, harus mengubah mindsetnya
terlebih dahulu, dengan memperbaiki pola pikir, pemahaman, ketrampilan dan
perilakunya melalui proses yang proaktif, kreatif dan inovatif. Guru profesional akan menjadikan dirinya sebagai
sosok yang patut diteladani terlebih dahulu, dan sejalan dengan itu, ia mengajak
orang lain. Dengan budaya kerja yang seperti ini in sya’ Allah para guru akan
layak digugu dan ditiru. Wallahu A’lam
sumber : Fahrul Usmi, MAg disini
Widi Astiyono disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar