Rabu, 29 Januari 2014

#1Hari1Ayat : Guru Profesional, Digugu dan Ditiru

A'uuzubillaahi minasy syaithoonirroojiim
Bismilaahirrohmaanirrohiim
2:44
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (Al Baqoroh : 44)  

Beberapa waktu lalu sekolah kami, sekolah dasar  swasta yang saat ini memasuki tahun keempat, kedatangan beberapa guru PNS bersertifikat. Kedatangan mereka adalah untuk meminta izin diperbolehkan mengajar sebagai guru PNS yang diperbantukan, karena di sekolah asal mereka tidak mendapatkan jam mengajar. Peraturan bahwa guru bersertifikat harus mengajar 24 jam tatap muka dalam seminggu, yang kalau di SD adalah sebagai guru kelas, membuat banyak guru  tidak mendapatkan kelas, atau tidak mendapat jumlah jam mengajar yang cukup sebagai syarat mereka mendapatkan Tunjangan Profesi Pendidik (TPP). Boleh jadi hal ini disebabkan menumpuknya guru hanya di sekolah-sekolah yang terdapat di kota saja.

Terlepas dari banyaknya guru bersertifikat yang tidak mendapat kelas/jam akibat persebaran guru yang tidak merata, program sertifikasi guru ini sebenarnya adalah niat baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru dan mutu pendidikan di Indonesia, sekaligus memberikan penghargaan atas baiknya kinerja para guru. Atau juga sebaliknya, dengan adanya penghargaan berupa tunjangan tersebut, maka guru tidak perlu memikirkan pekerjaan sampingan sehingga dapat bekerja secara profesional. Tetapi dalam beberapa kasus, niat baik ini belum bersambut sesuai harapan. Karena pada kenyataannya, masih sangat banyak guru, baik bersertifikat ataupun tidak yang belum profesional.

Profesional menurut Permen Diknas mengenai standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru adalah menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam.  Untuk itu seorang guru dituntut proaktif, kreatif, dan inovatif, serta dapat menyampaikan pembelajaran dengan baik untuk memahamkan siswa. Dengan demikian dibutuhkan totalitas dan profesionalitas kerja guru, yang imbalannya adalah diberikannya tunjangan profesi pendidik, meskipun dalam beberapa kasus proses pencairannya pun berkendala.

Terlepas dari rumitnya urusan sertifikasi, sesungguhnya sebaik apapun program dirancang, secanggih apapun kebijakan dibuat, mutu dan layanan pendidikan kita tidak akan meningkat jika guru tidak memperbaiki kualitas dirinya. Betapa banyak kita menemukan guru yang mengajar hanya menuntaskan kewajiban, guru yang bersikap kasar dan menyakiti fisik siswa, guru yang melecehkan siswa. Terkadang hal tersebut dilakukan tanpa sadar, secara spontan, karena sikap tersebut sudah mendarah daging dalam dirinya. Betapa banyak kita menemukan guru yang sudah berpengalaman puluhan tahun mengajar, tetapi cara dan sikapnya justru mengalami kemunduran.

Maka tidaklah berlebihan kalau pemerintah melalui penerapan kurikulum 2013 melakukan perubahan mindset guru. Secara harfiah, mindset adalah sebuah sikap individu berupa kesesuaian  antara pola pikir/pengetahuan, keterampilan dan sikap prilaku. Orang yang memiliki hal tersebut, maka ia akan memiliki kesadaran/keikhlasan untuk menerima serta berkemauan untuk memperjuangkannya, yang dalam organisasi disebut dengan istilah budaya kerja (Fahrul Usmi, MAg)

Saya menyimpulkan maknanya adalah selaras dengan ayat tersebut diatas, bahwa, seorang guru profesional itu, harus mengubah mindsetnya terlebih dahulu, dengan memperbaiki pola pikir, pemahaman, ketrampilan dan perilakunya melalui proses yang proaktif, kreatif dan inovatif.  Guru profesional akan menjadikan dirinya sebagai sosok yang patut diteladani terlebih dahulu, dan sejalan dengan itu, ia mengajak orang lain. Dengan budaya kerja yang seperti ini in sya’ Allah para guru akan layak digugu dan ditiru.  Wallahu A’lam

sumber : Fahrul Usmi, MAg disini 
              Widi Astiyono disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar