Rabu, 13 November 2013

Dilema Wanita Bekerja



Lihat berita ini di koran kemarin jadi kepikiran. Apa jadinya diriku jika khodimah/asisten rumahtangga minta gaji sesuai UMP/upah minimum propinsi. 

Teringat  obrolan teman-teman. Mbak-nya untuk nyuci dan menyetrika 2x seminggu gajinya 500ribu. Untuk mengasuh anak senin-jum’at Rp 750ribu. Mungkin itu kecil ya kalau di kota. Tapi kami yang tinggal di daerah itu sudah termasuk tinggi.  Belum lagi kalau sabtu-minggu diminta masuk harus dihitung lembur. Kalau minta tolong belanja ke pasar, paling tidak mengganti uang bensinnya, atau dibelikan belanja juga. Bisa-bisa kalau diminta menyapu tambah lagi fee-nya.  Mengepel sekian. Bebenah sekian. Masak sekian. 
Apalagi kalau menginap di rumah. Apalagi kalau mereka demo minta kenaikan UMP. Akhirnya gaji habis untuk membayar asisten saja.

Lalu untuk apa kita (wanita) bekerja?

Mungkin bagi sebagian orang, bekerja itu untuk eksistensi diri. Untuk kemanfaatan ilmu.  Tak sedikit yang karirnya bagus, yang berbanding lurus dengan penghasilannya.  Atau wanita bekerja karena dibutuhkan, untuk pekerjaaan-pekerjaan tertentu yang membutuhkan kemampuan wanita. Perawat, misalnya.  Atau bidan.  Atau dokter.  Dan masih banyak yang lainnya.

Namun banyak juga wanita  yang bekerja karena terpaksa. Mungkin untuk membantu suami, untuk menutupi pengeluaran yang meningkat karena naiknya harga barang dan jasa. Atau bahkan karena single parent, yang mau takmau memang harus menafkahi keluarganya.  Mereka ini biasanya mau bekerja apa saja yang penting ada penghasilan. Rumah dan anak terpaksa dititipkan kalau tak mau terabaikan.

Di masa Rasulallah saw dan sahabatnya, kaum miskin, dhuafa dan janda, adalah tanggungan negara.  Mari kita simak kisah populer berikut ini.

Umar bin Khattab sang khalifah menyusuri jalan kota di gelap malam, mengontrol keadaan penduduknya.  Melewati sebuah rumah, ia mendengar tangisan beberapa anak yang merengek lapar pada ibunya.  Sang ibu menenangkan dengan mengatakan sedang memasak dan meminta anaknya bersabar menunggu matang.  Tetapi penantian dirasa terlalu lama, sehingga mereka menangis lagi.  Sang khalifah pun penasaran.  Bergegas mengetuk pintu dan bertanya, gerangan apakah yang dimasak sang Ibu sehingga belum juga matang.  Sang Khalifah tersentak manakala melihat yang dimasak ternyata batu.  Sang Ibu berkata, “saya hanya berharap mereka tertidur saat menunggu”.

Sang khalifah tersungkur dalam tangisan.  Bergegas mengambil bahan makanan dan setumpuk uang untuk diserahkan, dan menolak dibantu untuk mengangkatnya, seraya berkata “Apakah engkau akan menanggung dosaku karena melalaikan kewajibanku”.  Ia panggul sendiri, ia masak sendiri, bahkan ia suapi anak-anak yatim tersebut.

Jika finansial mereka tercukupi, maka sang ibu dapat berkonsentrasi mendidik dan membesarkan putra-putrinya.

Tetapi apakah saya menyalahkan pemerintah karena banyak wanita terpaksa bekerja? Tentu hal itu tak akan menyelesaikan masalah bukan? Karena kenyataannya banyak juga wanita bekerja karena mereka memang ingin bekerja.

Apapun sebab wanita bekerja, masalahnya relatif sama. Rumah dan anak terpaksa dititipkan pada asisten.  Tetapi coba lihat. Asisten sekarang sulit didapat.  Kalaupun ada mereka minta gaji berlipat.  Mereka bilang harga barang dan jasa semakin sulit dipanjat.  Lalu apa yang mesti diperbuat?

Yang paling mungkin barangkali, ya sudah tidak usah punya asisten. Kita handel sendiri saja  semua pekerjaan rumah tangga, sebelum atau sepulang bekerja.  Anak balita, bisa dititipkan.  Rumah penitipan anak yang terpercaya sudah makin menjamur sekarang ini.   

Tinggal lagi kita yang mesti menimbang kembali manfaat dan mudhorotnya menitipkan anak balita kita.  Menimbang kembali manfaat mudhorotnya kita bekerja. Lalu setelah itu, apapun pilihan kita, yang penting kita menjalaninya dengan ketetapan hati dan kebesaran jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar