Lihat berita ini di koran kemarin jadi kepikiran. Apa jadinya diriku jika
khodimah/asisten rumahtangga minta gaji sesuai UMP/upah minimum propinsi.
Teringat obrolan teman-teman.
Mbak-nya untuk nyuci dan menyetrika 2x seminggu gajinya 500ribu. Untuk mengasuh
anak senin-jum’at Rp 750ribu. Mungkin itu kecil ya kalau di kota. Tapi kami yang tinggal di daerah itu sudah termasuk tinggi. Belum lagi kalau
sabtu-minggu diminta masuk harus dihitung lembur. Kalau minta tolong
belanja ke pasar, paling tidak mengganti uang bensinnya, atau dibelikan belanja
juga. Bisa-bisa kalau diminta menyapu tambah lagi fee-nya. Mengepel sekian. Bebenah sekian. Masak sekian.
Apalagi kalau menginap di rumah. Apalagi kalau mereka demo minta kenaikan UMP.
Akhirnya gaji habis untuk membayar asisten saja.
Lalu untuk apa kita (wanita) bekerja?
Mungkin bagi sebagian orang, bekerja itu untuk eksistensi diri. Untuk
kemanfaatan ilmu. Tak sedikit yang
karirnya bagus, yang berbanding lurus dengan penghasilannya. Atau wanita bekerja karena dibutuhkan, untuk
pekerjaaan-pekerjaan tertentu yang membutuhkan kemampuan wanita. Perawat,
misalnya. Atau bidan. Atau dokter.
Dan masih banyak yang lainnya.
Namun banyak juga wanita yang
bekerja karena terpaksa. Mungkin untuk membantu suami, untuk menutupi
pengeluaran yang meningkat karena naiknya harga barang dan jasa. Atau bahkan
karena single parent, yang mau takmau memang harus menafkahi keluarganya. Mereka ini biasanya mau bekerja apa saja yang
penting ada penghasilan. Rumah dan anak terpaksa dititipkan kalau tak mau
terabaikan.
Di masa Rasulallah saw dan sahabatnya, kaum miskin, dhuafa dan janda,
adalah tanggungan negara. Mari kita
simak kisah populer berikut ini.
Umar bin Khattab sang
khalifah menyusuri jalan kota di gelap malam, mengontrol keadaan
penduduknya. Melewati sebuah rumah, ia
mendengar tangisan beberapa anak yang merengek lapar pada ibunya. Sang ibu menenangkan dengan mengatakan sedang
memasak dan meminta anaknya bersabar menunggu matang. Tetapi penantian dirasa terlalu lama,
sehingga mereka menangis lagi. Sang
khalifah pun penasaran. Bergegas
mengetuk pintu dan bertanya, gerangan apakah yang dimasak sang Ibu sehingga
belum juga matang. Sang Khalifah
tersentak manakala melihat yang dimasak ternyata batu. Sang Ibu berkata, “saya hanya berharap mereka
tertidur saat menunggu”.
Sang khalifah
tersungkur dalam tangisan. Bergegas
mengambil bahan makanan dan setumpuk uang untuk diserahkan, dan menolak dibantu
untuk mengangkatnya, seraya berkata “Apakah engkau akan menanggung dosaku
karena melalaikan kewajibanku”. Ia
panggul sendiri, ia masak sendiri, bahkan ia suapi anak-anak yatim tersebut.
Jika finansial mereka tercukupi, maka sang ibu dapat berkonsentrasi
mendidik dan membesarkan putra-putrinya.
Tetapi apakah saya menyalahkan pemerintah karena banyak wanita terpaksa
bekerja? Tentu hal itu tak akan menyelesaikan masalah bukan? Karena
kenyataannya banyak juga wanita bekerja karena mereka memang ingin bekerja.
Apapun sebab wanita bekerja, masalahnya relatif sama. Rumah dan anak
terpaksa dititipkan pada asisten. Tetapi
coba lihat. Asisten sekarang sulit didapat.
Kalaupun ada mereka minta gaji berlipat.
Mereka bilang harga barang dan jasa semakin sulit dipanjat. Lalu apa yang mesti diperbuat?
Yang paling mungkin barangkali, ya sudah tidak usah punya asisten. Kita
handel sendiri saja semua pekerjaan
rumah tangga, sebelum atau sepulang bekerja.
Anak balita, bisa dititipkan.
Rumah penitipan anak yang terpercaya sudah makin menjamur sekarang ini.
Tinggal lagi kita yang mesti menimbang kembali
manfaat dan mudhorotnya menitipkan anak balita kita. Menimbang kembali manfaat mudhorotnya kita
bekerja. Lalu setelah itu, apapun pilihan kita, yang penting kita menjalaninya
dengan ketetapan hati dan kebesaran jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar