Selasa, 08 Oktober 2013

Belajar Antri



                                                   gambar dari google

Pernah dongkol saat mengantri?  :-)    Saya pernah...

Kala tengah mengantri di sebuah atm, ketika pintu terbuka, tetiba seorang bapak yang baru datang langsung masuk begitu pintu terbuka, sambil berkata,’ maaf ya sebentar saja’.  Yah, sebenarnya tak satu pun  yang mau berlama-lama  kan.  Tetapi menghindari keributan, kami di barisan, yang hanya berdua ini, tersenyum kecut.

Kali lain, ketika kami sedang berbaris antri menunggu giliran mengambil makan dalam sebuah hajatan , sesampainya  kami di meja tiba-tiba datang sekelompok orang bapak-bapak dan ibu-ibu, sekira 15an orang. Seorang ibu yang ikut mengantri dan berdiri persis di depan kami berlima yang sudah berbaris dan mengantri  beberapa puluh menit, mengenali mereka. Setelah melihat masih panjangnya antrian, dengan ramah ibu tersebut mempersilakan kepada mereka yang baru datang, untuk berbaris memotong dan mendahului mengambil makan.  Kami  mendelik berpandangan , sambil  senyum menahan kedongkolan.  Yah,  inilah negriku.

Antri.  Satu kata saja.  Tapi banyak sekali maknanya.  
Ia bisa berarti menghargai. Persilakan yang lebih dulu.
Ia juga bisa berarti adil, yang datang belakangan, ya kebagian belakangan dong.
Ia juga bisa berarti, halal, karena tidak mengambil hak orang lain.
Ia juga bisa berarti sabar,  mengambil nafas sejenak, memberi  kesempatan oksigen lebih banyak masuk ke paru-paru, agar pikiran jernih dan laku tak mengambil langkah keliru.
Ia bisa berarti kita harus berkomitmen untuk bangun lebih dini, datang lebih pagi, agar kerja kita lebih cepat diberesi , dan bisa beralih pekerjaan yang lain lagi
Ia memberi arti, berapa  sebenarnya ‘harga’ diri kita sendiri.

Maka patutlah kita sangsi, jika kini orang-orang banyak korupsi, mungkin karena dulu tidak belajar antri.
Mau cepat dapat komisi tanpa perlu mengandalkan gaji.
Mau cepat tiba di puncak   meski banyak korban terdepak. Tak didengar walau sudah teriak-teriak.
Tak peduli zolim, tak peduli menghargai, tak peduli haram.

Maka patutlah kita menduga, jika banyak remaja tawuran, mungkin karena dulu tidak diajari  sabar menunggu giliran. 
Tak sempat menarik nafas menajamkan perasaan,  supaya  emosinya bisa dikendalikan.

Maka patutlah juga kita mengira, jika banyak pejabat tak kompeten di bidangnya, mungkin karena dulu malas mengantri  diklat-nya. Jalan pintas pun dibentang, supaya licin, mulus tanpa aral merintang.
Tak peduli kerja harus rapi dengan komitmen  terus memperbaiki , agar hasilnya mumpuni. Bukannya serobot sana serobot sini.

Padahal antri, adalah memberi arti, berapa ‘harga’ diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar