“Berhentilah
merokok ayah, aku tak tahan asapnya” suara bundaku. Terbatuk sesekali. Lalu hening. Ayah
masih menghisap rokoknya. Entah sudah yang keberapa. Ia baru saja pulang mengisi
pengajian di Masjid Raya. Duduk diam. Sambil menikmati kopi hitamnya buatan bunda.
>>>>
Bunda sedang
mengandung adikku. Entah kenapa kesehatannya agak terganggu. Sering batuk-batuk.
Tapi beliau kuat. Meski tubuhnya terlihat ringkih, tapi ia sanggup mencuci
pakaian kami tanpa mesin cuci, belanja ke pasar, memasak untuk dijual di warung,
membereskan rumah kecil kami, sambil menjaga warung nasi. Mengurus ayah, aku, calon
adikku, juga kakak kalau dia sedang
pulang libur dari pesantren. Tapi entah mengapa juga,
ayah suka marah. Seperti malam ini. Ayah
baru saja pulang dan mencari Ibu di kamar.
“Mana baju batik
biruku yang kemarin? Cepatlah, aku sudah ditunggu”
“Aduh maaf,
belum disetrika, ayah,” tergopoh-gopoh bunda berlari dengan perut besarnya.
“Hah!! Plaakkk!!!
Bunda belum
sempat ke belakang.
“Kamu ini
betul-betul tak becus mengurus rumah tangga.
Anak sudah hampir 3 masih juga belum pintar mengatur waktu. Apa saja kerjamu seharian? Aku pontang panting setiap hari siang malam. Kamu menyetrika baju
saja tak sempat. Pasti kamu midang*
ke tempat si Romah centil itu.
Menggunjing orang. Berapa kali
sudah kubilang, menggunjing orang itu
tak baik. Jangan suka pergi ke warung si Romah itu. Masih saja”
Panjang sekali
omelan ayah. Menggelegar. Tak lama, Bunda
segera memberikan baju yang disetrikanya
terburu-buru. Ayah memakainya dan bergegas pergi. Aku mengintip saja dari celah
pintu. Kulihat bunda mengusap pipinya,
dan menghela napas.
>>>>>
Sekarang aku
sudah kelas satu SD. Sekolahku cukup
jauh dari rumah. Hari itu aku pulang
sekolah mendapati ruang tamu yang kosong. Tapi pintu terbuka. Di meja ada
beberapa gelas berisi sisa minum.
Mungkin tadi ada tamu. Juga ada
beberapa puntung rokok di asbak. Kuperhatikan,
ada yang masih berasap. Aku jadi tertarik. Kuambil dan kuselipkan di mulutku. Aku bergaya
seperti ayah. Tapi bagaimana cara
mengeluarkan asapnya dari mulut. Hug.hug, Aku terbatuk. Segera kuletakkan lagi di asbak. Bunda datang dan membereskan meja tersebut.
“Fajri!!, ayo
main!!” suara teman-temanku
Aku bergegas
keluar.
“Fajri ganti baju dulu!!” teriak bundaku.
Hehe..aku sudah
bergabung dengan teman-temanku. Aku tahu bundaku tak mungkin mengejar. Ia sedang sibuk dengan adik bayiku. Kami bermain apa saja, keliling kampung.
Mandi di sungai Batang, menaiki kerbaunya si Polan. Apa saja. Seharian. Tiba-tiba Hasan bilang,”Wah sudah hampir
maghrib. Pulang yuk”
Astaga!!! Tiba–tiba
aku teringat, aku tidak pergi mengaji sore. Alamat mendapat sebatan** rotan dari ayah. Aku meringis membayangkan kakiku disebat.
Iiih…pasti sakit.
Benar saja. Ayah sudah menungguku di depan pintu.
Memegang rotan keramatnya sepanjang setengah meter itu. Menelungkupkan aku di
meja kayu dan memukuli betisku dengan rotannya.
“Anak tak tahu
diuntung. Disuruh mengaji biar tahu
agama. Malah main-main saja kerjanya”
Entah berapa
kali ayah menyebat betisku. Tak sempat
aku menghitungnya. Sungguh beruntung kakak tinggal di pesantren, tak merasakan
sebatan rotan ayah.
>>>>
Di sekolah hari
ini seru sekali. Banyak anak ayam
berkeliaran. Induknya tak ada. Tapi anak-anak ayam itu masih kecil. Kami berlomba menangkapnya. Dan akulah pemenangnya. Teman-teman tak ada yang berhasil. Aku sangat gembira. Kulempar ayam itu ke atas, kutangkap
lagi. Kulempar lagi, kutangkap
lagi. Semakin tinggi ku lempar, ha ha,
aku berhasil menangkapnya. Ku lempar
lagi, eitss tiba –tiba ada yang menyenggolku.
Anak ayam itu lepas dari tangkapanku.
Jatuh ke lantai batu.
Menggelepar. Lalu diam tak bergerak.
Kami memandangi anak ayam itu. Tiba-tiba ada yang teriak.
“Ayamnya
mati!! Fajri, ayamnya mati!! Ayo
laporkan ustadz”
Aku tak
peduli. Paling aku diberi konsekuensi
membaca buku tentang ayam. Hahah.
Aku lihat gambarnya saja. Kan aku
belum bisa membaca.
>>>>
Hari ini ada
yang seru lagi. Hah sekolah ini memang
hebat. Banyak seru-serunya. Kami menemukan
anak kucing yang masih kecil sekali di belakang kelas. Kami berebutan memegangnya. Tapi Hasan mendapatkannya. Ia memegang, memangku dan mengelusnya.
Seorang teman merebutnya. Kucing itu mengeong
tak berhenti. Kurebut darinya. Yang lain
juga ikut-ikutan merebut. Huh,
kukeluarkan segenap kemampuanku. Kutarik
anak kucing itu. Tapi terdengar suara
bel berbunyi. Segera kubawa kucing itu
ke tempat tersembunyi, lalu kututup rapat pakai kaleng bekas hingga tak
terlihat. Hah. Puas aku. Tak kan ada yang bisa menemukannya sekarang.
Nanti pulang sekolah aku akan membawanya ke rumah.
Di kelas
teman-temanku sibuk melapor pada guru.
Aku diam saja. Ustadz menasehatiku supaya sayang pada hewan. Tentu saja
aku sayang. Makanya kurebut dari
teman-teman. Nanti mau kubawa pulang.
Sayangnya pulang
sekolah aku lupa mengambilnya. Aku baru
ingat esok harinya. Ketika kulihat,
ternyata anak kucing itu sudah mati. Teman-teman melapor lagi. Aku diberi
konsekuensi lagi. Kali ini ustadz Andi menitipkan sebuah amplop surat untuk
ayahku. Entah apa isinya.
>>>>>
Meskipun sering
diberi sanksi ataupun konsekuensi, aku senang sekolah disini. Aku tak perlu bertemu ayah yang kalau pulang
ke rumah kerjanya marah-marah. Atau menguhukumku. Sebatan rotan sudah berulangkali. Direndam dalam bak kamar mandi sudah
sering. Dipukuli, Tak boleh pergi main,
sudah tak terhitung lagi. Nah, kalau di sekolah ini aku pulang hampir jam 3. Disini aku bisa main sepuasnya. Main perosotan di tanah yang miring di
samping sekolah. Menangkap hewan-hewan yang lewat. Masuk ke hutan kecil di belakang
sekolah. Memandangi kereta batubara saat lewat yang gerbongnya
banyaak sekali. Haha, pokoknya asyik
sekali. Aku tak peduli kata ustadz aku
belum bisa membaca. Aku diberi guru khusus untuk mengajariku membaca di ruang
perpustakaan. Tapi buku-buku bergambar
di perpustakaan itu lebih menarik buatku daripada bu guru. Tapi aku membacanya susah, suka terbalik-balik. Lebih asyik melihat gambarnya saja.
>>>>>
Hari ini ada
yang seru lagi. Banyak tukang di sekolah
kami. Kata ustadz mereka mau membuat
gedung kelas yang baru. Kami mendekat
untuk melihat. Tukang-tukang itu sedang
duduk di bawah pohon sambil merokok.
Kulihat banyak puntung di sekitarnya.
Mereka bilang sedang menunggu material datang. Apa itu material ya? Aku bertanya dalam hati.
Jam istirahat
kulihat tukang-tukang itu sibuk bekerja.
Aku mendekat bersama teman-teman. Aku tahu sebenarnya tidak boleh
mendekat kesini. Tapi aku penasaran. Nah, kebetulan aku menemukan puntung rokok
yang masih menyala. Kuambil dan
kuselipkan di mulutku. Bergaya seperti
ayahku. Hahah, teman teman ada yang
tertawa. Tapi Ada juga yang teriak.
“Ustadz, fajri
merokok!!, ustadz, fajri merokok!! Huh.
Riuh rendah suaranya. Aku
dipanggil lagi ke kantor.
Sebenarnya
konsekuensi dari ustadz tidak menyakitiku.
Tapi teman-teman melapor pada ayah saat menjemputku sepulang sekolah.
“Pak, Fajri tadi
merokok”
“Iya pak, Fajri
tadi merokok”
Ayah langsung
menangkap lenganku. Menempeleng
pipiku. Kiri. Kanan. Memukul pantatku. Memukul bahuku. Menjewer telingaku. Aaah…Sakiit.
Tapi aku tak mau menangis. Aku
tak mau dibilang cengeng oleh teman-temanku.
Kulihat jauh di ujung sana ada Ustadz Andi, kepala sekolahku.
Sampai dirumah
hukumanku ditambah ayah. Katanya aku
keterlaluan, masih SD kelas 1 sudah merokok. Bikin malu ayah. Aku tak boleh main. Aku direndam dalam bak mandi. Rasanya lamaaa sekali. Aku kedinginan. Aku
marah pada ayah. Apakah ayah sayang padaku? tapi mengapa ia selalu
menghukum. Aku marah pada bunda. Bunda
tak pernah membelaku. Aku sudah tak tahan. Aku
benci ayah! aku benci bunda!. Aku ingin keluar dari sini. Dingin sekali disini. Aku tak tahan lagi. Akhirnya aku menangis
diam-diam.
Aku
mendengar suara bunda menenangkan adikku yang rewel karena sedang sakit. Kudengar
suara bunda mendendangkan selawatan. Aku mendengar suara adikku menangis keras.
Tapi Lama-lama suara itu melemah. Makin
lama makin pelan. Lalu menghilang. Mungkin adikku sudah berhenti menangis. Bundaku
sudah berhasil mendiamkannya. Samar-samar
nyanyian bunda pun terhenti.
Sekarang sudah
sepi. Senyap. Aku tak mendengar apa-apa lagi.
Jadi terharu bacanya
BalasHapusmakasih mbak sudah mampir..salam kenal..:-)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus