Minggu, 08 Desember 2013

Puntung Rokok



“Berhentilah merokok ayah, aku tak tahan asapnya” suara bundaku. Terbatuk sesekali.  Lalu hening.  Ayah masih menghisap rokoknya. Entah sudah yang keberapa. Ia baru saja pulang mengisi pengajian di Masjid Raya. Duduk diam. Sambil menikmati kopi hitamnya buatan bunda. 

>>>> 

Bunda sedang mengandung adikku. Entah kenapa kesehatannya agak terganggu. Sering batuk-batuk. Tapi beliau kuat. Meski tubuhnya terlihat ringkih, tapi ia sanggup mencuci pakaian kami tanpa mesin cuci, belanja ke pasar, memasak untuk dijual di warung, membereskan rumah kecil kami, sambil menjaga warung nasi. Mengurus ayah, aku, calon adikku, juga kakak kalau dia sedang pulang libur dari pesantren. Tapi entah mengapa juga, ayah suka marah.  Seperti malam ini. Ayah baru saja pulang dan mencari Ibu di kamar.

“Mana baju batik biruku yang kemarin? Cepatlah, aku sudah ditunggu”
“Aduh maaf, belum disetrika, ayah,” tergopoh-gopoh bunda berlari dengan perut besarnya.
“Hah!! Plaakkk!!! 

Bunda belum sempat ke belakang.

“Kamu ini betul-betul tak becus mengurus rumah tangga.  Anak sudah hampir 3 masih juga belum pintar mengatur waktu.  Apa saja kerjamu seharian? Aku  pontang panting  setiap hari siang malam. Kamu menyetrika baju saja tak sempat. Pasti kamu midang* ke tempat si Romah centil itu.  Menggunjing orang.  Berapa kali sudah kubilang, menggunjing  orang itu tak baik. Jangan suka pergi ke warung si Romah itu. Masih saja”

Panjang sekali omelan ayah. Menggelegar.  Tak lama, Bunda  segera memberikan baju yang disetrikanya terburu-buru. Ayah memakainya dan bergegas pergi. Aku mengintip saja dari celah pintu.  Kulihat bunda mengusap pipinya, dan menghela napas.

>>>>> 

Sekarang aku sudah kelas satu SD.  Sekolahku cukup jauh dari rumah.  Hari itu aku pulang sekolah mendapati ruang tamu yang kosong. Tapi pintu terbuka. Di meja ada beberapa gelas berisi sisa minum.  Mungkin tadi ada tamu.  Juga ada beberapa puntung rokok di asbak.  Kuperhatikan, ada yang masih berasap.  Aku jadi tertarik.  Kuambil dan kuselipkan di mulutku. Aku bergaya seperti ayah.  Tapi bagaimana cara mengeluarkan asapnya dari mulut. Hug.hug, Aku terbatuk.  Segera kuletakkan lagi di asbak.  Bunda datang dan membereskan meja tersebut.

“Fajri!!, ayo main!!”  suara teman-temanku

Aku bergegas keluar.

“Fajri ganti baju dulu!!” teriak bundaku.

Hehe..aku sudah bergabung dengan teman-temanku. Aku tahu bundaku tak mungkin mengejar.  Ia sedang sibuk dengan adik bayiku.  Kami bermain apa saja, keliling kampung. Mandi di sungai Batang, menaiki kerbaunya si Polan. Apa saja. Seharian.  Tiba-tiba Hasan bilang,”Wah sudah hampir maghrib. Pulang yuk”

Astaga!!! Tiba–tiba aku teringat, aku tidak pergi mengaji sore. Alamat mendapat sebatan** rotan dari ayah.  Aku meringis membayangkan kakiku disebat. Iiih…pasti sakit.
Benar saja.  Ayah sudah menungguku di depan pintu. Memegang rotan keramatnya sepanjang setengah meter itu. Menelungkupkan aku di meja kayu dan memukuli betisku dengan rotannya.

“Anak tak tahu diuntung.  Disuruh mengaji biar tahu agama. Malah main-main saja kerjanya”

Entah berapa kali ayah menyebat betisku.  Tak sempat aku menghitungnya. Sungguh beruntung kakak tinggal di pesantren, tak merasakan sebatan rotan ayah.

>>>> 

Di sekolah hari ini seru sekali.  Banyak anak ayam berkeliaran.  Induknya tak ada.  Tapi anak-anak ayam itu masih kecil.  Kami berlomba menangkapnya.  Dan akulah pemenangnya.  Teman-teman tak ada yang berhasil.  Aku sangat gembira.  Kulempar ayam itu ke atas, kutangkap lagi.  Kulempar lagi, kutangkap lagi.  Semakin tinggi ku lempar, ha ha, aku berhasil menangkapnya.  Ku lempar lagi, eitss tiba –tiba ada yang menyenggolku.  Anak ayam itu lepas dari tangkapanku.  Jatuh ke lantai batu.  Menggelepar. Lalu diam tak bergerak.  Kami memandangi anak ayam itu. Tiba-tiba ada yang teriak.

“Ayamnya mati!!  Fajri, ayamnya mati!! Ayo laporkan ustadz”
Aku tak peduli.  Paling aku diberi konsekuensi membaca buku  tentang ayam.  Hahah.  Aku lihat gambarnya saja.  Kan aku belum bisa membaca.

>>>> 

Hari ini ada yang seru lagi.  Hah sekolah ini memang hebat.  Banyak seru-serunya. Kami menemukan anak kucing yang masih kecil sekali di belakang kelas.  Kami berebutan memegangnya.  Tapi Hasan mendapatkannya.  Ia memegang, memangku dan mengelusnya.

Seorang teman merebutnya. Kucing itu mengeong tak berhenti. Kurebut darinya.  Yang lain juga ikut-ikutan merebut.  Huh, kukeluarkan segenap kemampuanku.  Kutarik anak kucing itu.  Tapi terdengar suara bel berbunyi.  Segera kubawa kucing itu ke tempat tersembunyi, lalu kututup rapat pakai kaleng bekas hingga tak terlihat.  Hah. Puas aku.  Tak kan ada yang bisa menemukannya sekarang. Nanti pulang sekolah aku akan membawanya ke rumah.

Di kelas teman-temanku sibuk melapor pada guru.  Aku diam saja. Ustadz menasehatiku supaya sayang pada hewan. Tentu saja aku sayang.  Makanya kurebut dari teman-teman. Nanti mau kubawa pulang.

Sayangnya pulang sekolah aku lupa mengambilnya.  Aku baru ingat esok harinya.  Ketika kulihat, ternyata anak kucing itu sudah mati. Teman-teman melapor lagi. Aku diberi konsekuensi lagi. Kali ini ustadz Andi menitipkan sebuah amplop surat untuk ayahku. Entah apa isinya.

>>>>> 

Meskipun sering diberi sanksi ataupun konsekuensi, aku senang sekolah disini.  Aku tak perlu bertemu ayah yang kalau pulang ke rumah kerjanya marah-marah.  Atau menguhukumku.  Sebatan rotan sudah berulangkali.  Direndam dalam bak kamar mandi sudah sering.  Dipukuli, Tak boleh pergi main, sudah tak terhitung lagi. Nah, kalau di sekolah ini aku pulang hampir jam 3.  Disini aku bisa main sepuasnya.  Main perosotan di tanah yang miring di samping sekolah. Menangkap hewan-hewan yang lewat.  Masuk ke hutan kecil di belakang sekolah.  Memandangi kereta batubara saat lewat yang gerbongnya banyaak sekali.  Haha, pokoknya asyik sekali.  Aku tak peduli kata ustadz aku belum bisa membaca. Aku diberi guru khusus untuk mengajariku membaca di ruang perpustakaan.  Tapi buku-buku bergambar di perpustakaan itu lebih menarik buatku daripada bu guru.  Tapi aku membacanya susah, suka terbalik-balik.  Lebih asyik melihat gambarnya saja.

>>>>> 

Hari ini ada yang seru lagi.  Banyak tukang di sekolah kami.  Kata ustadz mereka mau membuat gedung kelas yang baru.  Kami mendekat untuk melihat.  Tukang-tukang itu sedang duduk di bawah pohon sambil merokok.  Kulihat banyak puntung di sekitarnya.  Mereka bilang sedang menunggu material datang.  Apa itu material ya? Aku bertanya dalam hati.

Jam istirahat kulihat tukang-tukang itu sibuk bekerja.  Aku mendekat bersama teman-teman. Aku tahu sebenarnya tidak boleh mendekat kesini. Tapi aku penasaran. Nah, kebetulan aku menemukan puntung rokok yang masih menyala.  Kuambil dan kuselipkan di mulutku.  Bergaya seperti ayahku.  Hahah, teman teman ada yang tertawa. Tapi  Ada juga yang teriak.

“Ustadz, fajri merokok!!, ustadz, fajri merokok!!  Huh.  Riuh rendah suaranya.  Aku dipanggil lagi ke kantor.

Sebenarnya konsekuensi dari ustadz tidak menyakitiku.  Tapi teman-teman melapor pada ayah saat menjemputku  sepulang sekolah.

“Pak, Fajri tadi merokok”
“Iya pak, Fajri tadi merokok”

Ayah langsung menangkap lenganku.  Menempeleng pipiku.  Kiri. Kanan.  Memukul pantatku.  Memukul bahuku.  Menjewer telingaku.  Aaah…Sakiit.  Tapi aku tak mau menangis.  Aku tak mau dibilang cengeng oleh teman-temanku.  Kulihat jauh di ujung sana ada Ustadz Andi, kepala sekolahku.

Sampai dirumah hukumanku ditambah ayah.  Katanya aku keterlaluan, masih SD kelas 1 sudah merokok. Bikin malu ayah. Aku tak boleh main.  Aku direndam dalam bak mandi.  Rasanya lamaaa sekali.  Aku kedinginan.  Aku marah pada ayah. Apakah ayah sayang padaku? tapi mengapa ia selalu menghukum.  Aku marah pada bunda. Bunda tak pernah membelaku. Aku sudah tak tahan.  Aku benci ayah! aku benci bunda!. Aku ingin keluar dari sini.  Dingin sekali disini. Aku tak tahan lagi. Akhirnya aku menangis diam-diam.  

Aku mendengar suara bunda menenangkan adikku yang rewel karena sedang sakit. Kudengar suara bunda mendendangkan selawatan. Aku mendengar suara adikku menangis keras. Tapi Lama-lama suara itu melemah.  Makin lama makin pelan. Lalu menghilang. Mungkin adikku sudah berhenti menangis. Bundaku sudah berhasil mendiamkannya.  Samar-samar nyanyian bunda pun terhenti. 

Sekarang sudah sepi.  Senyap.  Aku tak mendengar apa-apa lagi.
 

3 komentar: