Selasa, 08 Oktober 2013

Refleksi Cinta dan Kerja dalam Harmoni Keluarga


Malam, sering ia bawakan aku setumpuk rasa bersalah.  Seperti malam ini. Ia bawakan aku segenggam rasa itu, kala lintasan kata putri bungsuku kembali menyata. ‘Umi tak peduli sama Ai, umi gak punya waktu buat ngurusin Ai.  Kata-kata yang ia sampaikan manakala diriku tengah lelah sepulang sekolah, dan ia minta diladeni. 

Terkadang, keinginan mendidik anak menjadi mandiri terbias oleh rasa lelah (atau sesungguhnya malas), sehingga niat menjadi tak jelas. Maka tujuan pun tak tertangkap dengan baik oleh si anak, sehingga yang tampak adalah bahwa sang umi ini tidak perduli.

Seperti juga malam malam sebelumnya, kala sergapan rasa salah itu kembali mendera, kala sang putra bertanya, apa korelasinya antara marah dengan cinta. Cinta seperti apakah yang membuat seseorang merasa berhak untuk memarahi anaknya, sementara ia yang bergelar ‘sang utusan’ menyatakan ‘janganlah marah, maka bagimu surga..’

Pun seperti malam-malam lainnya, kala putri-putri lainnya pun menanti haknya untuk dibersamai.  Dimengerti gelisahnya, Didengar keluhkesahnya. Dibersamai dalam setiap keadaan.

Sesungguhnyalah aku resah. Tersebab kekhawatiran menuai badai akibat menabur benih yang salah. Khawatir keseringan berargumentasi menolak harapnya untuk dibersamai, akan berbuah perlakuan yang sama darinya kelak kala diri ini menua, dan berharap dibersamainya.

Lalu refleksi adalah sebuah keniscayaan.  Jika cinta, mengapa membersamainya terasa begitu sulit? Haruskah kewajiban mencari maisyah membuat kebersamaanku dengan mereka menjadi bersekat ruang dan waktu.  Tak mampu sekedar membuat bakwan bersama, tak sempat sekedar membuat lenggang bersama, seperti dulu selagi waktuku banyak di rumah saja.

Jika memang cinta, mengapa membersamai mereka terasa begitu berat? komunikasiku dengan mereka jadi terbatas dan ala kadarnya, sehingga jawaban ‘tak tahu’lah yang seringkali keluar kala mereka membutuhkan jawaban.  Padahal aku tahu, bisa jadi jawaban dariku itulah, yang akan membentuk kekokohan jiwanya, yang kelak akan membentuk kesholehan pribadinya..

Kata cinta itu pulalah, yang seharusnya menjadikanku bersemangat mendengarkan cerita-cerita yang berlompatan dari mulut mereka, mendengarkan keluhkesah tentang sahabat-sahabatnya, mengusap rambutnya, menyeka peluhnya.  Mungkin ada waktunya kelak, akulah yang akan menginginkan perlakuan seperti itu dari mereka...saat mungkin ketika usiaku semakin tua, dan mereka beranjak dewasa..

Maka inilah saatnya, menjadikan cinta-cinta yang telah ada itu bersemi. Tak dapat ia dikatakan cinta, jika tidak ditunjukkan dalam kerja nyata. Menunjukkan cinta pada mereka, bahwa aku, uminya ini, mencintai mereka.  Meski ucapan bukan kebiasaan, tapi perilaku harus dilazimkan.  Maka tersebab cinta pada mereka lah, kuarungi jalan hidup ini.  Berharap  harmonisasinya akan mengantarkan kami kelak dalam cinta Ia yang sejati.

Muara Enim, di rumah cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar