Malam, sering ia bawakan aku setumpuk rasa bersalah. Seperti malam ini. Ia bawakan aku segenggam rasa itu, kala lintasan kata putri bungsuku kembali menyata. ‘Umi tak peduli sama Ai, umi gak punya waktu buat ngurusin Ai. Kata-kata yang ia sampaikan manakala diriku tengah lelah sepulang sekolah, dan ia minta diladeni.
Terkadang, keinginan mendidik anak menjadi mandiri terbias oleh rasa
lelah (atau sesungguhnya malas), sehingga niat menjadi tak jelas. Maka tujuan
pun tak tertangkap dengan baik oleh si anak, sehingga yang tampak adalah bahwa
sang umi ini tidak perduli.
Seperti juga malam malam sebelumnya, kala sergapan rasa
salah itu kembali mendera, kala sang putra bertanya, apa korelasinya antara
marah dengan cinta. Cinta seperti apakah yang membuat seseorang merasa berhak
untuk memarahi anaknya, sementara ia yang bergelar ‘sang utusan’ menyatakan
‘janganlah marah, maka bagimu surga..’
Pun seperti malam-malam lainnya, kala putri-putri lainnya
pun menanti haknya untuk dibersamai.
Dimengerti gelisahnya, Didengar keluhkesahnya. Dibersamai dalam setiap keadaan.
Sesungguhnyalah aku resah. Tersebab kekhawatiran menuai
badai akibat menabur benih yang salah. Khawatir keseringan berargumentasi
menolak harapnya untuk dibersamai, akan berbuah perlakuan yang sama darinya kelak
kala diri ini menua, dan berharap dibersamainya.
Lalu refleksi adalah sebuah keniscayaan. Jika cinta, mengapa membersamainya terasa
begitu sulit? Haruskah kewajiban mencari maisyah membuat kebersamaanku
dengan mereka menjadi bersekat ruang dan waktu.
Tak mampu sekedar membuat bakwan bersama, tak sempat sekedar membuat
lenggang bersama, seperti dulu selagi waktuku banyak di rumah saja.
Jika memang cinta, mengapa membersamai mereka terasa begitu
berat? komunikasiku dengan mereka jadi terbatas dan ala kadarnya, sehingga
jawaban ‘tak tahu’lah yang seringkali keluar kala mereka membutuhkan
jawaban. Padahal aku tahu, bisa jadi
jawaban dariku itulah, yang akan membentuk kekokohan jiwanya, yang kelak akan membentuk
kesholehan pribadinya..
Kata cinta itu pulalah, yang seharusnya menjadikanku
bersemangat mendengarkan cerita-cerita yang berlompatan dari mulut mereka,
mendengarkan keluhkesah tentang sahabat-sahabatnya, mengusap rambutnya, menyeka
peluhnya. Mungkin ada waktunya kelak,
akulah yang akan menginginkan perlakuan seperti itu dari mereka...saat mungkin
ketika usiaku semakin tua, dan mereka beranjak dewasa..
Maka inilah saatnya, menjadikan cinta-cinta yang telah ada
itu bersemi. Tak dapat ia dikatakan cinta, jika tidak ditunjukkan dalam kerja
nyata. Menunjukkan cinta pada mereka, bahwa aku, uminya ini, mencintai
mereka. Meski ucapan bukan kebiasaan, tapi
perilaku harus dilazimkan. Maka tersebab
cinta pada mereka lah, kuarungi jalan hidup ini. Berharap
harmonisasinya akan mengantarkan kami kelak dalam cinta Ia yang sejati.
Muara Enim, di rumah cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar