Putriku,
Tahun ini, Limabelas tahun usiamu. Sampai kini, umi merasa belum menjadi ummi
yang baik untukmu. Umi meletakkan beban
yang mungkin terasa berat di pundakmu. Membantu ummi mengerjakan pekerjaan
rumah tangga, membantu ummi mengasuh adik-adikmu, hingga tak sempat kau
berkumpul bersama teman-temanmu. Tak dapat
umi mengajakmu jalan-jalan, menghabiskan waktu di tempat rihlah seperti
keluarga lainnya. Tak juga ummi
memberimu keluasan materi hingga bisa berBBM ria menjalin komunikasi dengan
teman-temanmu. Atau melengkapi semua kebutuhanmu. Tak pula umi rela kau ikut
les dengan para gurumu di malam hari, padahal tak bisa ummi mengajarimu
matematika, atau pelajaran lainnya. Bahkan nyaris tak sempat umi mengajakmu
ngobrol atau curhat seperti biasanya, dulu semasa sd, setiap pulang sekolah
pasti tak henti kau bercerita. Kini kau sudah SMA. Di sekolah unggulan. Pulang
sore, menjelang maghrib. Malam hari kau berkutat dengan PR-mu, hingga tak
terasa, waktu pagi telah tiba. Lalu kita memulai hari baru dengan ritme yang
sama.
Anakku,
Umi pasti bukan umi yang cukup baik
untukmu. Seringkali umi tak sempat memasak untuk bekal makan siangmu di
sekolah. Sarapan kita terkadang hanya
cukup, pas untuk dimakan sekali, karena Umi masak terburu-buru, tidak bisa mengatur waktu di pagi hari. Untuk membangunkan adik-adikmu, mengajak
sholat, mengurusi segala keperluan sekolah mereka, dan keperluan umi sendiri
untuk berangkat mengajar di sebuah full day, yang terkadang dilanjutkan dengan berbagai agenda lainnya.
Sore atau malam hari, mengerjakan aktivitas di rumah yang tertunda. rasanya
sudah malas dan lelah untuk mempersiapkan keperluan esok hari, atau sekedar
ngobrol bersamamu menghabiskan hari. Ah, maafkan umi ya nak.
Tiga tahun terpisah denganmu karena kau
sekolah di boarding school setamat SD, sebenarnya membuat ummi ingin sekarang
lebih dekat denganmu. Tapi entah kenapa,
realita seolah membuat mimpi dan cita-cita menguap entah kemana.
Putriku,
Sebenarnya umi ingin seperti dulu, saat-saat umi mengajak sholat berjamaah, membiasakan
tilawah. Umi ingin seperti saat-saat
dulu umi menyiapkan sarapan dan bekal makan siang anak-anak semuanya tanpa
terburu-buru. Memasak kesukaan kalian,
kesukaan abi, apa saja. Membantu kalian
mengerjakan PR, dan kebutuhan-kebutuhan kalian semuanya. Mengurus rumah dan
kembang-kembang. Mengatur perabot dan
menyusun isi lemari. Umi rindu menjadi ibu rumahtangga sejati. Ummi sedih mengetahui nilai-nilaimu
merosot, (tadi wali kelasmu menyampaikan
itu lewat istrinya, teman umi di pengajian).
Umi sedih belum bisa membiasakan adik-adikmu dengan ibadah tanpa harus
umi suruh lagi. Umi sedih melihat kebutuhan kalian akan seorang ummi tidak
dapat umi penuhi sepenuh-penuhnya.
Bahkan ummi sedih karena seringkali tak dapat menahan emosi. Padahal
kalian adalah anak-anak yang ummi sayangi...
Putriku,
Hari ini umi mendapatimu menangis sepulang
sekolah. Karena guru BK-mu menanyakan
pertanyaan sederhana. Tentang Penjurusan. Tentang cita-cita dan tujuan. Tentang Universitas Harapan. Tentang Mimpi membangun masa depan. Dan bagaimana orangtuamu memberikan dukungan.
Sudah beberapa kali kau bicarakan itu dengan umi anakku. Tapi belum pernah umi berikan jawaban,
apalagi penjelasan. Pertanyaan itu mungkin sederhana dan biasa bagi anak sma
lainnya. Tapi ternyata tak sesederhana itu buatmu.
Maafkan ummi, anakku. Sebagai anak tertua, Umi selalu menganggap
kau sudah dewasa. Umi memintamu memahami
keadaan umi, sehingga menafikan perasaanmu sebagai seorang anak, yang butuh pengarahan,
yang butuh kedekatan, yang butuh dipahami... Kau tahu, ummi belum juga
memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan gurumu itu, karena ummi pun terkadang
masih bimbang dalam pertanyaan. Tentang
cita-cita dan tujuan. Tentang Mimpi
Membangun Masa Depan. Dan tentang apa yang bisa umi berikan sebagai dukungan.
Umi hanya punya satu keyakinan. Ketika abi menunaikan haji bersama kedua
orangtuanya, umi mohon didoakan agar Allah senantiasa memberikan kebaikan untuk
umi. Untuk keluarga kita. Hingga Tatkala Allah memanggil abi dalam kecelakaan
yang tiba-tiba itu,beberapa waktu sepulang haji, saat itu pula umi semakin meyakini. Sesungguhnya Dia melihat kita. Dia
membersamai kita. Dia memberikan
yang terbaik untuk kita. Dia-lah
sesungguhnya penggenggam dunia. Maka
sandarkanlah cita-cita dan harapanmu kepadaNya.
Mintalah kebutuhanmu kepadaNya.
Abi, adalah seorang hamba yang telah dipanggilNya. Ummi, adalah seorang hamba yang juga meminta
kepadaNya. Dia lah sang Maha memiliki Segala. Maka tinggikanlah mimpimu
setinggi-tingginya. Yakinkan dirimu bisa
meraihnya. Karena Ia membersamai
kita. Karena Dia-lah waliy yang
sesungguhnya.
Kekhawatiran, ketakutan, halangan dan
rintangan, itu niscaya. Tak ada seorang
anak Adam pun yang tidak mengalaminya.
Terlebih orang beriman. “Apakah kamu mengatakan beriman, padahal kamu
tidak diuji?” Itu kataNya. “Barangsiapa
bersungguh-sungguh kepada Kami, niscaya akan kami tunjukkkan jalan-jalan
Kami”. Itu janjiNya.
Ikhtiar, itu harus. Usaha, itu mesti. Itulah yang
Dia maksudkan dengan kesungguhan yang akan diberikan petunjuk
jalan. Tak akan sampai yang
bersantai-santai. Apalagi yang salah memilih sandaran. Maka tetapkanlah pilihanmu. Rancanglah masa
depanmu. Tak perlu ragu dukungan umi-mu.
Karena Ada Dia bersama kita! Ada Dia bersama kita!
Rumah Cinta, september 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar