Selasa, 16 Oktober 2012

SURATKU UNTUKMU


 Putriku,
Tahun ini, Limabelas tahun usiamu.  Sampai kini, umi merasa belum menjadi ummi yang baik untukmu.  Umi meletakkan beban yang mungkin terasa berat di pundakmu. Membantu ummi mengerjakan pekerjaan rumah tangga, membantu ummi mengasuh adik-adikmu, hingga tak sempat kau berkumpul bersama teman-temanmu. Tak dapat  umi mengajakmu jalan-jalan, menghabiskan waktu di tempat rihlah seperti keluarga lainnya.  Tak juga ummi memberimu keluasan materi hingga bisa berBBM ria menjalin komunikasi dengan teman-temanmu. Atau melengkapi semua kebutuhanmu. Tak pula umi rela kau ikut les dengan para gurumu di malam hari, padahal tak bisa ummi mengajarimu matematika, atau pelajaran lainnya. Bahkan nyaris tak sempat umi mengajakmu ngobrol atau curhat seperti biasanya, dulu semasa sd, setiap pulang sekolah pasti tak henti kau bercerita. Kini kau sudah SMA. Di sekolah unggulan. Pulang sore, menjelang maghrib. Malam hari kau berkutat dengan PR-mu, hingga tak terasa, waktu pagi telah tiba. Lalu kita memulai hari baru dengan ritme yang sama.

Anakku,
Umi pasti bukan umi yang cukup baik untukmu. Seringkali umi tak sempat memasak untuk bekal makan siangmu di sekolah.  Sarapan kita terkadang hanya cukup, pas untuk dimakan sekali, karena Umi masak terburu-buru, tidak  bisa mengatur waktu di pagi hari.  Untuk membangunkan adik-adikmu, mengajak sholat, mengurusi segala keperluan sekolah mereka, dan keperluan umi sendiri untuk berangkat mengajar di sebuah full day, yang terkadang  dilanjutkan dengan berbagai agenda lainnya. Sore atau malam hari, mengerjakan aktivitas di rumah yang tertunda. rasanya sudah malas dan lelah untuk mempersiapkan keperluan esok hari, atau sekedar ngobrol bersamamu menghabiskan hari. Ah, maafkan umi ya nak.
Tiga tahun terpisah denganmu karena kau sekolah di boarding school setamat SD, sebenarnya membuat ummi ingin sekarang lebih dekat denganmu.  Tapi entah kenapa, realita  seolah membuat  mimpi dan cita-cita menguap entah kemana.

Putriku,
Sebenarnya umi ingin seperti dulu, saat-saat  umi mengajak sholat berjamaah, membiasakan tilawah. Umi ingin seperti  saat-saat dulu umi menyiapkan sarapan dan bekal makan siang anak-anak semuanya tanpa terburu-buru.  Memasak kesukaan kalian, kesukaan abi, apa saja.  Membantu kalian mengerjakan PR, dan kebutuhan-kebutuhan kalian semuanya. Mengurus rumah dan kembang-kembang.  Mengatur perabot dan menyusun isi lemari. Umi rindu menjadi ibu rumahtangga sejati.  Ummi sedih mengetahui nilai-nilaimu merosot,  (tadi wali kelasmu menyampaikan itu lewat istrinya, teman umi di pengajian).  Umi sedih belum bisa membiasakan adik-adikmu dengan ibadah tanpa harus umi suruh lagi. Umi sedih melihat kebutuhan kalian akan seorang ummi tidak dapat umi penuhi sepenuh-penuhnya.  Bahkan ummi sedih karena seringkali tak dapat menahan emosi. Padahal kalian adalah anak-anak yang ummi sayangi... 

Putriku, 
Hari ini umi mendapatimu menangis sepulang sekolah.  Karena guru BK-mu menanyakan pertanyaan sederhana. Tentang Penjurusan. Tentang cita-cita dan tujuan.  Tentang Universitas Harapan.  Tentang Mimpi membangun masa depan.  Dan bagaimana orangtuamu memberikan dukungan. Sudah beberapa kali kau bicarakan itu dengan umi anakku.  Tapi belum pernah umi berikan jawaban, apalagi penjelasan. Pertanyaan itu mungkin sederhana dan biasa bagi anak sma lainnya. Tapi ternyata tak sesederhana itu buatmu.

Maafkan ummi, anakku.  Sebagai anak tertua, Umi selalu menganggap kau sudah dewasa.  Umi memintamu memahami keadaan umi, sehingga menafikan perasaanmu sebagai seorang anak, yang butuh pengarahan, yang butuh kedekatan, yang butuh dipahami... Kau tahu, ummi belum juga memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan gurumu itu, karena ummi pun terkadang masih bimbang dalam pertanyaan.  Tentang cita-cita dan tujuan.  Tentang Mimpi Membangun Masa Depan. Dan tentang apa yang bisa umi berikan sebagai dukungan.

Umi hanya punya satu keyakinan.  Ketika abi menunaikan haji bersama kedua orangtuanya, umi mohon didoakan agar Allah senantiasa memberikan kebaikan untuk umi. Untuk keluarga kita. Hingga Tatkala Allah memanggil abi dalam kecelakaan yang tiba-tiba itu,beberapa waktu sepulang haji,  saat itu pula umi semakin meyakini.  Sesungguhnya Dia melihat kita. Dia membersamai kita.  Dia memberikan yang  terbaik untuk kita. Dia-lah sesungguhnya penggenggam dunia.  Maka sandarkanlah cita-cita dan harapanmu kepadaNya.  Mintalah kebutuhanmu kepadaNya.  Abi, adalah seorang hamba yang telah dipanggilNya.  Ummi, adalah seorang hamba yang juga meminta kepadaNya. Dia lah sang Maha memiliki Segala. Maka tinggikanlah mimpimu setinggi-tingginya.  Yakinkan dirimu bisa meraihnya.  Karena Ia membersamai kita.  Karena Dia-lah waliy yang sesungguhnya.

Kekhawatiran, ketakutan, halangan dan rintangan, itu niscaya.  Tak ada seorang anak Adam pun yang tidak mengalaminya.  Terlebih orang beriman. “Apakah kamu mengatakan beriman, padahal kamu tidak diuji?” Itu kataNya.  “Barangsiapa bersungguh-sungguh kepada Kami, niscaya akan kami tunjukkkan jalan-jalan Kami”.  Itu janjiNya.

Ikhtiar, itu harus. Usaha, itu mesti.  Itulah yang  Dia maksudkan dengan kesungguhan yang akan diberikan petunjuk jalan.  Tak akan sampai yang bersantai-santai. Apalagi yang salah memilih sandaran.  Maka tetapkanlah pilihanmu. Rancanglah masa depanmu. Tak perlu ragu dukungan umi-mu.  Karena Ada Dia bersama kita! Ada Dia bersama kita!

Rumah Cinta, september 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar