Rabu, 21 November 2012

Dari Mana Asalmu?

Awal Tahun Ajaran baru lalu seorang anak baru pindah ke sekolah kami. Kelas 3. Dari Jawa. Anak-anak seluruh kelas heboh bertanya-tanya pindahan darimana. Tak terkecuali guru-gurunya.  Semua penasaran dari manakah dia?

Bagi anak-anak pertanyaan itu biasanya selesai setelah dijawab, atau akan memunculkan pertanyaan baru semacam; dimana itu? Ada apa disitu dsb,  karena catatan memori mereka tentang suatu tempat belum banyak.  Tapi beda jika yang bertanya itu adalah orang dewasa apalagi calon  mertua.  Karena jawaban pertanyaan darimana asalmu ini akan ikut menentukan diterima atau tidaknya proposal yang diajukan.

Sudah mafhum kita ketahui bersama, di masyarakat kita beredar standar tak tertulis mengenai asal usul calon menantu.  Bagi suku tertentu, suku A tak layak masuk dalam daftar calon menantu.  Bagi suku lainnya, suku B yang tak pantas masuk dalam proposal calon menantu.  Sementara suku D dianggap paling layak. Sudah ada label yang tertempel dalam benak mereka mana suku yang “baik” dan ”tidak baik”. Padahal Allah ciptakan manusia bersuku-suku itu sama sekali bukan untuk “meng-kelaskan” diantara suku, melainkan supaya saling kenal mengenal, saling memahami. Allah mengkelaskan manusia adalah berdasarkan ketaqwaanNya:

                “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, supaya kamu saling ta’aruf/kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu ialah yang paling bertaqwa” (Al Hujuroot 13)

Peng-kelasan yang dilakukan Allah, hanyalah berdasarkan ketaqwaan. Tak masalah dari suku apapun ia.  Begitupun tak perlu adanya diskriminasi gender. Laki-laki atau pun perempuan punya kans yang sama untuk menjadi insan bertaqwa. 
  
Maka adalah tak layak ketika kita mempermasalahkan suku dalam menikah.  Seorang teman yang kemudian tetap jadi menikah meski berasal dari suku yang di-black list oleh calon mertuanya, terpaksa harus mengalami tekanan psikis di tahun-tahun awal pernikahannya.  Butuh waktu, pemikiran, dan tenaga ekstra baginya untuk membuktikan bahwa dirinya, tidak seperti label yang ditempelkan masyarakat pada sukunya.

Rasulallah saw, ketika ditanya berasal dari mana beliau menjawab “Ana min Maa’, Aku berasal dari air”, jawab beliau.  Dan memang demikianlah,

                                “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes air yang berampur (QS al Insaan:2).  Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina? (QS 77 al Mursalaat:20)

Lalu kemudian apa yang pantas membuat kita menilai suku A lebih baik dari lainnya. Perilaku seperti ini hanyalah meniru perilaku syaitan yang mengatakan:

                                “Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia (Adam) Engkau ciptakan dari tanah”(Al A’rof 12)

Iblis merasa lebih baik dari manusia, padahal sama dengan manusia,ia pun adalah hamba, makhluk, bukan Khalik Sang Pencipta. Manusia yang merasa lebih baik dari manusia lainnya, persis meniru iblis yang  merasa dirinya lebih baik.

Padahal Allah hanya menilai yang terbaik adalah yang paling bertaqwa. Padahal semua manusia punya peluang yang sama untuk menjadi yang terbaik.

Memang, hidup  terkadang tidak menawarkan pilihan bagi kita. Kita tak bisa memilih dari suku mana kita ditempatkan. Dari rahim siapa kita dilahirkan.  Tapi kita diberikan pilihan ingin hidup seperti apa. Akan berjalan di jalan yang mana. Kita beruntung jika memilih jalan kebaikan, mensucikan hati, meraih ketaqwaan. Dan sebaliknya, akan rugi jika kita memilih jalan keburukan.

Karenanya penting bagi kita untuk membekali diri dengan ilmu.  Yang haq dan bathil itu sudah jelas perbedaannya, tetapi terkadang kita sulit memisahkannya.  Dengan pemahamanlah kita dapat mengokohkan hati untuk tetap berada di jalan kebaikan.

Penting juga bagi kita untuk selalu berada dalam lingkungan yang baik.  Lingkungan akan sangat mempengaruhi kita, seperti kata Rasul saw.

                                “Seorang anak terlahir sesuai fitrah.  Lingkungannya terdekatnyalah (orangtua) yang akan menjadikannya majusi, nasrani, atau islami”

Ilmu dan pemahaman terkadang sudah kita miliki. Tapi untuk melaksanakannya kita butuh penguatan-penguatan. Maka kita harus pandai memilih lingkungan terdekat kita.  Kalau belum tersedia, maka kita ciptakan lingkungan yang baik. Kita ajak menggali ilmu-ilmu yang akan mengantarkan kita ke jalan kebaikan.

Sehingga dengan demikian tak masalah kita berasal dari mana dan dari suku apa.  Yang penting adalah di jalan mana kita berada, dan sejauh mana kita berusaha menjadi insan bertaqwa.

Fastabiqul khoirot!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar