Awal Tahun Ajaran baru lalu seorang anak baru
pindah ke sekolah kami. Kelas 3. Dari Jawa. Anak-anak seluruh kelas heboh
bertanya-tanya pindahan darimana. Tak terkecuali guru-gurunya. Semua penasaran dari manakah dia?
Bagi anak-anak
pertanyaan itu biasanya selesai setelah dijawab, atau akan memunculkan
pertanyaan baru semacam; dimana itu? Ada apa disitu dsb, karena catatan memori mereka tentang suatu
tempat belum banyak. Tapi beda jika yang
bertanya itu adalah orang dewasa apalagi calon
mertua. Karena jawaban pertanyaan
darimana asalmu ini akan ikut menentukan diterima atau tidaknya proposal yang
diajukan.
Sudah mafhum kita
ketahui bersama, di masyarakat kita beredar standar tak tertulis mengenai asal
usul calon menantu. Bagi suku tertentu,
suku A tak layak masuk dalam daftar calon menantu. Bagi suku lainnya, suku B yang tak pantas
masuk dalam proposal calon menantu.
Sementara suku D dianggap paling layak. Sudah ada label yang tertempel
dalam benak mereka mana suku yang “baik” dan ”tidak baik”. Padahal Allah
ciptakan manusia bersuku-suku itu sama sekali bukan untuk “meng-kelaskan”
diantara suku, melainkan supaya saling kenal mengenal, saling memahami. Allah
mengkelaskan manusia adalah berdasarkan ketaqwaanNya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu laki-laki dan
perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, supaya kamu
saling ta’aruf/kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu
ialah yang paling bertaqwa” (Al Hujuroot 13)
Peng-kelasan yang
dilakukan Allah, hanyalah berdasarkan ketaqwaan. Tak masalah dari suku apapun
ia. Begitupun tak perlu adanya
diskriminasi gender. Laki-laki atau pun perempuan punya kans yang sama untuk
menjadi insan bertaqwa.
Maka adalah tak
layak ketika kita mempermasalahkan suku dalam menikah. Seorang teman yang kemudian tetap jadi
menikah meski berasal dari suku yang di-black
list oleh calon mertuanya, terpaksa harus mengalami tekanan psikis di
tahun-tahun awal pernikahannya. Butuh
waktu, pemikiran, dan tenaga ekstra baginya untuk membuktikan bahwa dirinya,
tidak seperti label yang ditempelkan masyarakat pada sukunya.
Rasulallah saw,
ketika ditanya berasal dari mana beliau menjawab “Ana min Maa’, Aku berasal
dari air”, jawab beliau. Dan memang
demikianlah,
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari setetes air yang berampur (QS al Insaan:2). Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang
hina? (QS 77 al Mursalaat:20)
Lalu kemudian apa
yang pantas membuat kita menilai suku A lebih baik dari lainnya. Perilaku
seperti ini hanyalah meniru perilaku syaitan yang mengatakan:
“Aku
lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia (Adam) Engkau
ciptakan dari tanah”(Al A’rof 12)
Iblis merasa lebih
baik dari manusia, padahal sama dengan manusia,ia pun adalah hamba, makhluk,
bukan Khalik Sang Pencipta. Manusia yang merasa lebih baik dari manusia
lainnya, persis meniru iblis yang merasa
dirinya lebih baik.
Padahal Allah hanya
menilai yang terbaik adalah yang paling bertaqwa. Padahal semua manusia punya
peluang yang sama untuk menjadi yang terbaik.
Memang, hidup terkadang tidak menawarkan pilihan bagi kita.
Kita tak bisa memilih dari suku mana kita ditempatkan. Dari rahim siapa kita
dilahirkan. Tapi kita diberikan pilihan
ingin hidup seperti apa. Akan berjalan di jalan yang mana. Kita beruntung jika
memilih jalan kebaikan, mensucikan hati, meraih ketaqwaan. Dan sebaliknya, akan
rugi jika kita memilih jalan keburukan.
Karenanya penting
bagi kita untuk membekali diri dengan ilmu.
Yang haq dan bathil itu sudah jelas perbedaannya, tetapi terkadang kita
sulit memisahkannya. Dengan pemahamanlah
kita dapat mengokohkan hati untuk tetap berada di jalan kebaikan.
Penting juga bagi
kita untuk selalu berada dalam lingkungan yang baik. Lingkungan akan sangat mempengaruhi kita,
seperti kata Rasul saw.
“Seorang
anak terlahir sesuai fitrah.
Lingkungannya terdekatnyalah (orangtua) yang akan menjadikannya majusi,
nasrani, atau islami”
Ilmu dan pemahaman
terkadang sudah kita miliki. Tapi untuk melaksanakannya kita butuh
penguatan-penguatan. Maka kita harus pandai memilih lingkungan terdekat
kita. Kalau belum tersedia, maka kita
ciptakan lingkungan yang baik. Kita ajak menggali ilmu-ilmu yang akan
mengantarkan kita ke jalan kebaikan.
Sehingga dengan
demikian tak masalah kita berasal dari mana dan dari suku apa. Yang penting adalah di jalan mana kita
berada, dan sejauh mana kita berusaha menjadi insan bertaqwa.
Fastabiqul khoirot!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar