Selasa, 23 Oktober 2012

PARA PERANTAU

 Di Taluak Bayua den tamanuang
Den lapeh pandang sakuliliang
Tabayang rantau nan ka den hadang
Dima ko badan beko manompang
Jatuah badarai aia mato
Tinggallah kelok ampek puluah ampek*

Membaca penggalan syair tersebut, sungguh membuatku tersentak.  Seketika  jatuah badarai aia mato.  Begitu banyak yang menyebabkan deraiannya. Teringatlah perjalanan kita kesana bertahun yang lalu, dengan membawa putri pertama kita yang saat itu berusia 4 bulan, menyusuri kampuang abang nan salama ini jauah di mato. 

Setelah abang selesai mengikuti acara  di Bukittinggi, kita memulai perjalanan silaturahmi ke Maninjau.  Ke rumah etek sekaligus  melihat-lihat rumah Rasuna Said walaupun cuma dari luar (dan sekarang sudah lupa bentuknya seperti apa), karena rumah etek tidak terlalu jauh dari sana. Lalu mandi-mandi di danau Maninjau di belakang rumah. Lalu mengunjungi sanak saudara di berbagai tempat.  Pemandangan yang indah dengan deretan bukit-bukit Barisan sungguh menakjubkan.  Sungguh Maha Suci Allah.  Meski  perjalanan menyusuri kelokan kelokan tajam cukup membuat jantung berdegup kencang, tapi bukan itu yang membuatku menangis…

Membaca penggalan syair tersebut, terasa betapa sedihnya hati yang akan merantau, meninggalkan kampung halaman, mengadu nasib di tanah sebrang.  Kerinduan akan kembali pulang selalu menghentak-hentak, memanggil-manggil untuk datang.  Maka beberapa kali abang bilang untuk mengajak anak-anak liburan tahun ini untuk kembali mengunjungi kampuang nan jauah di mato...Namun, ternyata Allah punya rencana lain yang aku yakin pasti lebih baik.  Sungguh, walaupun ternyata kita tak jadi kesana, tapi bukan itu yang membuatku menangis…

Membaca penggalan syair tersebut, sungguh mengingatkan aku akan sebuah hadis Rasulallah, “Kehidupan seseorang di dunia ini hanyalah seperti seseorang yang berteduh di bawah sebuah pohon, yang setelah itu ia pergi lagi untuk melanjutkan perjalanan”  Sungguh, aku mengimani, bahwa abang, aku, kita semua milik Allah, dan akan kembali padaNya.  Maka perjalanan kita yang sesungguhnya adalah perjalan ke negeri keabadian, tempat dimana kita akan mendapatkan balasan dari apa yang sudah kita kerjakan.  Maka keberadaan kita disini, bagaikan seorang perantau, yang hanya mampir sebentar saja, sekedar mencari bekal penghidupan, untuk kemudian di bawa pulang, kembali ke kampuang halaman, kampuang keabadian…

Membaca penggalan syair tersebut, sungguh, seharusnyalah kita mulai menatap diri.  Maka pandanglah sekeliling, di negeri manakah kita berada? Berapa lama lagikah kita sampai pada tujuan kita?  Maka pandanglah sekeliling, bekal apakah yang sudah kita bawa? Kita disini, semua adalah para perantau, yang tak pernah terbayang sebelumnya, apa yang akan kita lakukan, dimana badan kan ditumpangkan.  Semua gelap, serba tak jelas.  Yang jelas terbayang adalah kesusahan, kengerian hidup di negeri orang tanpa sanak saudara, tanpa bekal apa-apa.

Tetapi Allah, Baginyalah segala pujian, karena Ia telah memberikan pelita untuk kita bawa, sebagai penerang, sebagai petunjuk jalan.  Ia berikan panduan untuk kita pegang, agar kita menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk dibawa pulang.  Sungguh beruntunglah orang-orang yang merantau dengan membawa kesuksesan, membawa bekal yang banyak agar cukup untuk dinikmati di kampung yang abadi, selama-lamanya. “Berbekallah, dan sebaik-baik bekal ialah taqwa”

Membaca penggalan syair tersebut, sungguh membuatku tersentak.  Seketika jatuah badarai aia mato. Aku termenung.  Bukankah aku sedang merantau? Kupandang sekeliling.  Bekal apakah yang sudah kusiapkan?  Terbayang buku catatan, yang tidak meninggalkan sedikitpun kesalahan.   Terbayang negeri tujuan, yang seseorang dihitung hanya amalnya sendiri.  Bukan amal ayahnya yang ulama’, bukan amal suaminya yang ‘abid, bukan pula amal anaknya yang sholeh…

Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, Tiada Tuhan Selain Engkau
Engkaulah penciptaku, dan aku ini hambaMu
Aku berada dalam perjanjian denganMu,
Aku akan memenuhinya Ya Allah, semampuku
Aku berlindung dari buruknya tingkah lakuku,
Aku mengakui Ya Allah, semua nikmat yang telah Kau berikan
Untukku
Dan aku mengakui pula Ya Allah, dosa-dosaku
Maka ampunilah aku Ya Robbi..
Karena tak ada yang dapat mengampunkan dosa-dosa
Kecuali Engkau saja..

Subhanakallahumma wabihamdik,
Asyhadu allaa ilaaha illa anta
Astaghfiruka
Wa atuubu ilaik..

*penggalan syair lagu Minang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar